Senin, 02 Januari 2017

Butuh Peta Zona Rawan Bencana

Butuh Peta Zona Rawan Bencana

sumber: harian serambi indonesia / senin 26 desember 2016

AHLI gempa dari Unsyiah, Nazli Ismail PhD berharap Pemerintah Aceh segera membuat peta zona rawan bencana sebagai panduan bagi masyarakat dalam berinvestasi maupun mendirikan tempat tinggalnya. Untuk itu, kata dia, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan akademisi khususnya ahli Ilmu Kebumian yang telah meneliti secara terus menerus bencana yang terjadi di Aceh.

“Selama ini belum ada peta zona rawan bencana sebagai panduan untuk masyarakat. Bahkan dalam membangun gedung dan infrastruktur lainnya, pemerintah masih mengenyampingkan hal itu,” ujar Nazli yang ditemui Serambi, Rabu (14/12) di Gedung Hyogo Prefecture Unsyiah, Banda Aceh.

Menurut Nazli, selain membuat peta zona rawan bencana, pemerintah juga harus memperketat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta membuat building code. “Coba perhatikan berapa banyak bangunan tinggi milik pribadi yang ada di Banda Aceh. Jika terjadi gempa, ini bukan lagi menjadi tanggung jawab pribadi,” katanya.

Dijelaskan, sebagian besar wilayah Aceh memiliki tanah alluvium (tanah liat yang menampung air) yang labil terhadap guncangan. Ditambah lagi letak Patahan Sumatera yang melewati hampir seluruh wilayah Aceh, menjadi ancaman serius bagi masyarakat saat terjadi gempa.

Nazli mengatakan, Patahan Sumatera secara umum terbagi atas dua segmen, yaitu Segmen Seulimuem yang melewati Gempang-Krueng Raya-Pulau Weh, serta Segmen Aceh yang dimulai dari Gempang-Banda Aceh–Lhoknga-Pulo Aceh-Andaman. “Selain dua itu, juga ada Patahan Batee, Samalanga, Lhokseumawe, dan Gayo Lues,” sebutnya.

Hingga kini, lanjut Nazli, berdasarkan penelitian para ahli, dua segmen/patahan yang paling aktif adalah Seulimuem dan Samalanga. Yang menyedihkan lagi, kata dia, di sepanjang dua segmen aktif tersebut terdapat banyak bangunan besar, pusat pemerintahan, sekolah, jembatan, hingga permukiman penduduk.

“Saya teringat gempa Bener Meriah, Tangse, Pidie Jaya, semuanya gempa darat yang berdekatan dengan Patahan Samalanga. Saya menduga ada patahan lain di sekitar itu yang belum teridentifikasi,” kata Nazli.

Terkait gempa 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya pada 7 Desember lalu, Nazli Ismail menilai skala tersebut terbilang kecil untuk sebuah gempa darat. Namun karena lokasinya berada di pemukiman padat penduduk, ditambah kualitas bangunan yang buruk, sehingga menimbulkan dampak yang cukup parah.

Dia mengatakan, ujung Utara Sumatera (Aceh) sudah tidak mengalami gempa besar dalam kurun waktu 170 tahun. Sedangkan di ujung Selatan Sumatera yaitu Lampung, Liwa, Bengkulu, Jambi, dan Padang mengalami gempa besar dalam waktu yang berdekatan.

“Hal ini menimbulkan dua makna. Pertama, Patahan Sumatera menyimpan energi dan mengeluarkannya kecil-kecil. Kedua, gempa Pijay sebagai pertanda awal dari gempa yang lebih besar, kita harap tidak demikian,” ujar Nazli, seraya mengutip perhitungan para ahli gempa yang menyatakan, suatu wilayah yang dilalui patahan akan berpotensi mengalami gempa setelah 170 tahun lebih.


Pada bagian lain, Nazli Ismail juga mengungkapkan dirinya sedang meneliti tentang adanya kaitan antara tsunami besar dan hilangnya peradaban Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, katanya, gempa dan tsunami di Aceh terjadi berulang kali dan mengakibatkan musnahnya suatu peradaban.

Dicontohkan, tsunami di Lamreh, Aceh Besar memusnahkan kerajaan besar bernama Lamuri di sana. “Tak hanya Lamuri, kerajaan besar Aceh lainnya yaitu Samudera Pasai, Aceh Darussalam, juga hilang setelah tsunami,” ujarnya, seraya menyebut tsunami tahun 2004 juga menyebabkan hilangnya masa konflik di Aceh.

Ditambahkan, penelitian itu diperkuat lagi dengan temuan tanah di Aceh Besar yang menunjukkan adanya gempa yang terjadi berulang kali pada masa lalu. “Aceh dari zaman dulu memiliki catatan gempa besar dan tsunami. Seharusnya kita belajar dari pengalaman ini,” jelasnya.

Selain itu, Nazli Ismail juga mengomentari kebijakan Pemerintah Aceh yang terkesan ‘ngotot’ membangun sentra pariwisata di wilayah rawan bencana. Dia mencontohkan Sabang, yang merupakan wilayah yang dilalui Segmen Seulimeum. “Hari ini pemerintah menjadikan Pulau Weh sebagai kawasan ekonomi terpadu, pusat pariwisata, bahkan ada wacana tol laut. Kenapa sulit terealisasi?,” ujar Nazli.

Menurutnya, para investor luar sangat teliti dalam melakukan investasi. Mereka hanya akan berinvestasi di wilayah yang jelas record-nya. “Di bawah Sabang ada Patahan Seulimuem, juga ada gunung api di sana. Ini sebenarnya jadi jawaban bagi kita kenapa daerah ini sulit berkembang,” katanya, seraya menyebut pihak yang mewacanakan itu adalah orang yang tidak mengetahui potensi ancaman di Sabang.

Dia juga mencontohkan Redelong. Kota Bener Meriah itu dibangun persis di bawah gunung api aktif Burni Telong. “Pusat pemerintahan, perkantoran, permukiman penduduk, semuanya dibangun di kaki gunung api. Ancaman besar ini seharusnya dipahami pemerintah,” tandasnya.

Oleh karena itu, kata Nazli, pengetahuan kebencanaan seharusnya merasuk ke dalam pikiran masyarakat, sehingga setiap perilaku dan tindakannya selalu siaga bencana. “Ingat, bencana di Aceh bukan cuma tsunami, sebab kemungkinan terjadi ratusan tahun lagi. Yang selalu terjadi adalah gempa bumi, banjir, longsor, dan kebakaran,” kata Nazli.

Dia juga berharap Pemerintah Aceh dapat menangani bencana secara serius yaitu dimulai dengan pencegahan. “Pembangunan jangan hanya selalu diartikan secara fisik. Sebab, membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana itu jauh lebih penting,” ujar Nazli seraya menyebut Unsyiah dengan sejumlah ahli Ilmu Kebumiaan siap membantu Pemerintah Aceh dalam merealisasikan hal itu.(fit)

Kamis, 15 Desember 2016

 Darurat Penelitian Gempa Bumi

Darurat Penelitian Gempa Bumi



Irwan Meilano ; Dosen Kelompok Keahlian Geodesi;
Wakil Ketua Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB
KOMPAS, 15 Desember 2016



Sesudah terjadi bencana gempa bumi yang mengakibatkan lebih dari seratus warga menjadi korban dan ribuan rumah roboh, tak terlalu sulit bagi peneliti kegempaan untuk memahami sumber gempa bumi di Pidie, Aceh. Sumber gempa bumi yang baru didefinisikan ini kemudian diberi nama sebagai Sesar Pidie (Kompas, 8/12/2016) dan menjadi bahan masukan untuk pembaruan peta gempa bumi Indonesia 2016.

Yang menjadi persoalan adalah mengapa pengetahuan akan sumber gempa bumi ini baru didapatkan sesudah bencana terjadi, mengapa tidak ada hasil penelitian yang menjelaskan sumber gempa bumi ini sebelumnya. Tentu saja kejadian gempa bumi tidak dapat diprediksi, tetapi pemahaman akan sumber gempa bumi yang baik dapat membantu kita melakukan mitigasi untuk mengurangi risikonya.

Hal yang sama terjadi pada saat kejadian gempa bumi Takengon 2013, gempa bumi Samudra Hindia 2012, gempa bumi Padang 2009, gempa bumi Yogyakarta 2006, bahkan gempa bumi Aceh 2004, tidak pernah kita mengetahui potensi ancamannya sebelum bencana terjadi. Pengetahuan kita selalu tertinggal dari kejadian bencananya.

Dalam kerangka International Sendai 2015 untuk pengurangan risiko bencana, memahami risiko merupakan prioritas pertama. Bagian dari memahami risiko ini adalah mengetahui musuh yang akan mengancam kita. Tidak mungkin kita bisa melakukan upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana dengan terarah tanpa mengetahui dengan baik ancaman kita.

Pemahaman kita akan ancaman bisa berubah seiring dengan pengetahuan yang kita miliki dan penelitian yang kita lakukan. Karena itu, penelitian harus menjadi fondasi dalam upaya pengurangan risiko bencana yang terarah. Apabila mitigasi digambarkan sebagai sebuah investasi untuk mengurangi kerugian di masa depan, baik kerugian ekonomi ataupun jiwa, tanpa pengetahuan yang benar kita bisa saja sedang melakukan investasi di tempat dan cara yang tidak tepat.

Penelitian gempa bumi

Infrastruktur pengurangan risiko kebencanaan kita memang telah berkembang dengan signifikan pasca gempa bumi Aceh 2004. Hal ini ditandai dengan pengesahan UU No 24/2007 yang diikuti dengan berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di sejumlah daerah. Namun, perkembangan penelitian kebencanaan tidak secepat perkembangan struktural ini.

Untuk menghasilkan produk penelitian yang baik, selain diperlukan dana yang besar juga diperlukan kesabaran dan konsistensi karena sering kali hasil penelitian baru bisa didapatkan bertahun-tahun kemudian. Sebagai contoh, tidak kurang dari empat tahun bagi penulis dalam melakukan penelitian di Sesar Lembang, untuk bisa menyimpulkan status dan tingkat aktivitasnya sehingga bisa menjadi hasil penelitian yang dapat dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Begitu pula sumber gempa bumi lainnya di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan, tetapi hanya puluhan yang telah terkuantifikasi dengan baik. Dengan demikian, jika tidak ada upaya yang serius dan sistematis untuk memahami sumber gempa ini, maka merupakan suatu keniscayaan apabila gempa bumi kembali menjadi bencana di masa depan.

Persoalan lain dalam penelitian gempa bumi karena sifat alami dari penelitiannya yang lintas keilmuan dan lintas instansi. Untuk menghasilkan peta potensi gempa (seismic hazard map), diperlukan penelitian geologi, seismologi, geodesi, geoteknik, dan struktur. Dalam dunia penelitian perguruan tinggi yang hanya menekankan linieritas, hal ini akan tidak mudah untuk dilakukan. Kemudian penelitian ini juga memerlukan ketersediaan data pengamatan kegempaan, topografi detail, pergeseran, struktur lapisan tanah, dan lain-lain. Data ini dikelola oleh instansi yang berbeda di Indonesia.

Menyadari sifat alami dari penelitian kegempaan ini, Pemerintah Jepang membentuk suatu komite nasional untuk gempa bumi, yang terdiri dari peneliti beberapa instansi dan perguruan tinggi. Begitu pula di Amerika, mereka membentuk suatu konsorsium penelitian gempa yang mereka namakan Headquarters for Earthquake Research Promotion (HERP).

Dengan potensi gempa yang sangat tinggi dan sebagian besar belum didefinisikan dengan baik, Indonesia memerlukan adanya pusat penelitian gempa bumi dengan skala nasional. Pembentukan ini telah coba diinisiasi oleh para peneliti dari beberapa instansi (PUPR, BNPB, BMKG, Badan Geologi, BIG, LIPI, ITB, dan UGM) dalam satu tahun terakhir ini dengan bergabung membentuk Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen).

Capaian dalam satu tahun terakhir dari Pusgen yaitu terkarakterisasinya beberapa sumber gempa bumi di Indonesia dan menjadi masukan penting dalam proses pembaruan peta gempa Indonesia 2016. Namun, proses ini akan menjadi sia-sia apabila tidak ada upaya nasional untuk mengembangkan Pusgen karena keanggotaannya bersifat sukarela. Sangat penting adanya komitmen nasional yang memungkinkan dilakukannya penelitian jangka panjang dan akses akan data beberapa instansi.

Apabila kita mengacu pada data Scopus akan jumlah publikasi hasil penelitian gempa bumi yang dihasilkan peneliti dari Indonesia pada kurun 2010-2016 hanya berjumlah 530 publikasi dan kita bandingkan penelitian yang sama oleh peneliti dari Jepang yaitu 8.641, kita sedikit lebih baik dari Singapura (negara tanpa sumber gempa) yang berjumlah 313.

Merupakan suatu ironi negara dengan jumlah sumber gempa bumi yang salah satu terbesar di dunia memiliki penelitian yang sangat sedikit.

Dalam kondisi darurat penelitian gempa bumi ini, Pusgen harus didukung sehingga memiliki kapasitas penelitian sebaik Komite Nasional Gempa Jepang atau NEHRP di Amerika.

Sabtu, 10 Desember 2016

Tantangan Mitigasi Gempa

Tantangan Mitigasi Gempa



Abdul Muhari ; Pakar Gempa dan Tsunami Kementerian dan Kelautan;
Chairman Tsunami Working Group, Sentinel Asia
KOMPAS, 10 Desember 2016




Alam kembali mencari kesetimbangannya di ”Tanah Rencong”. Rabu, 7 Desember 2016, pergeseran sesar aktif di Kabupaten Pidie Jaya menimbulkan gempa dengan kekuatan M 6,5 (menurut Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat/USGS). Gempa ini berakibat pada 105 unit toko roboh, 106 unit rumah rusak berat, 13 masjid hancur dan 100 orang kehilangan nyawa (data per Jumat, 9 Desember 2016, pukul 17.00 WIB).

Sebelumnya, tiga tahun lalu tepatnya 2 Juli 2013, gempa dengan kekuatan M 6,1 mengguncang daerah Bener Meriah, kabupaten yang hanya berjarak 100 kilometer dari lokasi gempa dua hari yang lalu. Saat itu, 42 orang tewas, 400 orang luka-luka, dan tidak kurang dari 3.000 rumah hancur.

Dalam tiga tahun, dua gempa di kawasan yang tidak berjauhan dengan karakter kerusakan yang sama, yakni bangunan yang roboh, rusak struktur, dan ambruk yang berujung pada jatuhnya korban jiwa akibat terperangkap pada bangunan yang rusak.

Apakah ini kejadian pertama? Tidak. Melihat lebih jauh ke belakang, pada 30 September 2009, gempa dengan kekuatan M 7,6 menghantam Padang, Sumatera Barat, yang berakibat pada hancurnya tidak kurang dari 135.000 rumah dan menewaskan 1.117 jiwa.

Tahun 2006, gempa dengan kekuatan M 6,4 meluluhlantakkan Bantul, Yogyakarta, yang menelan hingga 5.700 korban jiwa. Pola kerusakan yang menyebabkan korban juga sama, struktur bangunan tidak mampu menahan guncangan gempa sehingga menimbulkan kerusakan pada tiang, dinding, atap atau robohnya bangunan secara keseluruhan yang kemudian menjadi penyebab utama jatuhnya korban jiwa yang terperangkap dalam bangunan yang ambruk.

Pertanyaannya, apa saja yang kita sudah lakukan 10 tahun terakhir sejak gempa Bantul, Yogyakarta, untuk benar-benar berupaya mengurangi kerusakan dan korban jiwa akibat gempa?

Satu hal yang perlu dipahami adalah bukan gempa yang membunuh, melainkan bangunan dan infrastruktur lain yang dibangun tidak tahan gempa yang membawa korban jiwa. Beranjak dari pemahaman ini, sebenarnya upaya mitigasi gempa yang paling mendasar sudah sangat jelas, yaitu bangunan dan infrastruktur apa pun di kawasan rawan gempa harus dibangun dengan memperhatikan ketahanan bangunan tersebut terhadap gempa.

Aturan-aturan yang diperlukan untuk melaksanakan hal ini juga sudah tersedia. Sejak tahun 2002, kita telah memiliki Standar Nasional Indonesia, yakni SNI 1726-2002 tentang standar perencanaan ketahanan gempa, Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa tahun 2006, dan terakhir SNI 1726-2012 tentang perencanaan gedung dan nongedung tahan gempa.

Akan tetapi, tantangan sebenarnya adalah bagaimana agar aturan-aturan tersebut bisa dilaksanakan dan terimplementasi di masyarakat? Di luar negeri, pekerja bangunan harus memiliki sertifikasi dan izin mendirikan bangunan berdasarkan desain disesuaikan dengan kondisi daerah di mana bangunan akan didirikan.

Akan tetapi, di Indonesia kondisinya berbeda. Rumah tinggal biasanya dibangun oleh pekerja bangunan setempat dan kaidah-kaidah pendirian bangunan yang diterapkan biasanya hanya mengacu pada ketersediaan dana yang ada dan bukan pada aturan dan standar pendirian bangunan yang resmi. Akibatnya, struktur bangunan sudah pasti tidak ideal untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti gempa dan bencana alam lainnya.

Keharusan di masa depan

Upaya sistematis dan persuasif harus dilakukan agar implementasi aturan mengenai standar bangunan tahan gempa dapat terimplementasi. Pemerintah harus mengambil peran upaya sistematis yang secara cepat dapat menjangkau segenap lapisan masyarakat. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mengintegrasikan standar bangunan tahan gempa ke dalam persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Agar upaya ini terlaksana, revisi peta gempa nasional yang kemudian diturunkan dan didetailkan dalam peta mikrozonasi kegempaan di tingkat kabupaten dan kota mutlak diperlukan. Hal ini supaya implementasi dari standar perencanaan bangunan tahan gempa tersebut bisa mengakomodasi karakteristik potensi dampak gempa dalam skala lokal.

Selanjutnya, upaya-upaya persuasif juga harus dilakukan. Jika melihat proses yang dilakukan di Jepang setelah tsunami tahun 2011, pemerintah melakukan pendekatan secara persuasif untuk merelokasi penduduk yang masih ingin tetap bertahan di kawasan terdampak tsunami.

Mereka yang tidak mau pindah ke lokasi yang lebih aman dari tsunami tidak akan mendapatkan insentif asuransi perumahan, sedangkan mereka yang mau pindah dan membangun rumah di lokasi yang lebih aman akan mendapatkan asuransi perumahan.

Hal yang sama juga bisa dilakukan di Indonesia. Insentif asuransi dapat menjadi salah satu faktor penarik bagi masyarakat untuk memasukkan komponen standar bangunan tahan gempa ke dalam desain bangunan sebelum pengurusan IMB. Untuk bangunan yang sudah dibangun, inisiatif retrofitting atau penguatan struktur bangunan agar tahan gempa juga bisa diganjar dengan insentif asuransi properti. Dengan demikian, ada penghargaan kepada masyarakat yang mau dan berinisiatif untuk mengurangi risiko kerusakan akibat gempa di masa depan.

Untuk gedung-gedung pemerintah dan sekolah, harus ada alokasi khusus untuk penguatan struktur bangunan tersebut agar bisa tahan gempa. Pada 2008, Pemerintah Jepang mengalokasikan dana sangat besar untuk me-retrofitting 18.240 bangunan sekolah setelah melakukan audit terhadap 48.000 bangunan sekolah dan menemukan bahwa 38 persen dari jumlah tersebut tidak tahan gempa.

Tidak heran kalau pada saat gempa besar tahun 2011, tidak ada satu bangunan sekolah pun yang roboh akibat gempa, malahan sebagian besar sekolah tersebut digunakan sebagai tempat evakuasi dari tsunami.

Asuransi bencana

Khusus untuk asuransi bencana, kiranya pemerintah sudah harus serius menyiapkan skema asuransi untuk bencana. Hal ini tidak hanya diperlukan agar upaya pemulihan setelah bencana dapat berlangsung lebih cepat karena properti yang diasuransikan bisa segera dapat dibangun kembali tanpa harus menunggu bantuan pemerintah, tetapi juga untuk memunculkan kesadaran masyarakat guna ikut mengurangi risiko mereka sendiri dengan jalan mengalihkan risiko tersebut ke pihak asuransi.

Pada saat gempa besar Jepang tahun 2011, kerugian akibat kerusakan bangunan mencapai 10,4 triliun yen, tetapi 1,3 triliun yen di antaranya merupakan bangunan yang berasuransi dan klaim asuransi tersebut sudah didapatkan oleh masyarakat dua bulan setelah gempa.

Hal ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk bisa memulai hidup dan kehidupan mereka kembali dengan cepat setelah bencana.

Dengan demikian, kegiatan penanggulangan bencana bisa secara bersama-sama dilakukan pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Selain itu, dengan implementasi standar bangunan tahan gempa secara konsisten kita bisa berharap ke depan, kerugian dan korban jiwa akibat gempa berkurang secara signifikan. ●

Sabtu, 09 April 2016

Berjejaring Selamatkan Hidup

Berjejaring Selamatkan Hidup



Oleh Ahmad Arif
Harian KOMPAS / 8 April 2016

Media massa berada pada posisi antara, berdiri antara kepentingan publik dan kepentingannya. Peliputan bencana ujian paling nyata. Media akan dihadapkan pada tuntutan memberikan informasi mencerahkan yang mendorong pengurangan risiko bencana atau memilih melaporkan sebagai komoditas belaka dengan aspek utama dramatisasi tragedi. 


Pengunjung pada Disaster Reduction and Human Renovation Institution di Kobe, Jepang, memperhatikan barang-barang milik penyintas dan pesan-pesan yang mereka tulis terkait gempa yang melanda kota itu 21 tahun silam, Minggu (28/2). Selain pendidikan kebencanaan di sekolah ataupun museum-museum, peran media yang terus mengingatkan tentang mitigasi bencana juga menjadi kunci penting kesuksesan Jepang membudayakan kesiapsiagaan menghadapi bencana. | KOMPAS/Ahmad Arif


Di Indonesia, tren peliputan bencana cenderung mengejar sisi dramatis. Peliputan bencana identik dengan darah, mayat, dan air mata, sebagaimana ditampilkan dalam peliputan tsunami Aceh 2004 hingga jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 pada 2015 atau sederet kejadian bencana lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan reporter saat peliputan jatuhnya pesawat bertendensi memainkan emosi keluarga korban yang dilanda kecemasan. Begitu mayat korban ditemukan, ada televisi yang memajang gambarnya secara vulgar.

Potret buruk media yang mengumbar mayat korban jatuhnya AirAsia mengundang kecaman media internasional, seperti ditulis Times (30/1/2015), "AirAsia Relatives in Shock as Indonesian TV Airs Images of Floating Body."

Masalahnya, dramatisasi tayangan itu dilakukan sadar, seperti disampaikan produser televisi swasta di Jakarta, "Kami butuh gambar dan suasana yang dramatis untuk menarik pemirsa. Masyarakat Indonesia itu menyukai kisah-kisah melodrama. Bagi kami, rating adalah segalanya. Lagi pula, ini dibutuhkan untuk menarik empati bagi masyarakat untuk menyumbang korban bencana."

Dalam perspektif ekonomi politik, konstruksi berita di media massa jelas tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bisnis. Rating dalam media televisi atau hits bagi media daring dan tingkat keterbacaan bagi media cetak menjadi panglima dalam liputan media. Itulah kontradiksi media karena publik juga menuntut adanya tanggung jawab sosial dari media.

Praktik peliputan bencana yang lebih menekankan aspek dramatisasi tragedi itu memang tidak khas dilakukan media di Indonesia. "Tidak ada media di Turki yang fokus pada liputan tentang mitigasi bencana. Mereka meliput bencana setelah kejadian," kata Gulum Tanircan, Koordinator Disaster Preparedness Training Unit KOERI (Kandili Observatory and Earthquake Research Institute) Turki, dalam lokakarya dan simposium tentang media dan bencana, yang digelar di Pusat Riset Mitigasi Bencana, Nagoya University, Jepang, akhir Februari lalu. Acara tersebut fokus pada kolaborasi media dan lembaga riset dalam menyebarkan informasi kebencanaan dan dihadiri perwakilan ilmuwan serta jurnalis dari Cile, Turki, Jepang, dan Indonesia.

Fenomena sama disampaikan Soledad Puente, peneliti pada Pontificia Universidad Catolica de Chile. Menurut Puente, media massa di Cile cenderung fokus memberitakan tragedi setelah kejadian dengan pendekatan drama. Dalam istilah sosiolog media John H Macmanus (Market Driven Journalism, 1994), media mengekspos berbagai bentuk peristiwa bencana alam, seperti gempa dan banjir, secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial semata.

Dalam simposium, Kepala Seksi Advokasi dan Hubungan Luar United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) Jerry Velasquez menyatakan, "Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 telah mengamanatkan agar semua negara fokus pada pengurangan korban dan dampak bencana dibandingkan dengan penanganan pasca bencana."

Terkait itu, menurut Velasquez, industri media dituntut mengubah perspektif dalam meliput bencana. Mereka harus meninggalkan model peliputan yang hanya mengutamakan kepentingan peringkat ataupun peningkatan oplah. Media juga dituntut mengedepankan tanggung jawab kemanusiaan.

Salah satu model yang dijadikan contoh adalah praktik para pelaku media di Nagoya, Jepang, dengan membentuk Networking for Saving Lifes (NSL). Forum itu dinilai terobosan baru dalam rangka membangun kesadaran bersama di kalangan jurnalis di Nagoya agar lebih berperan dalam pengurangan risiko bencana di kotanya.

Pelajaran dari Nagoya

Sebagaimana disampaikan Kunihiko Kumamoto, Guru Besar Komunikasi Media Universitas Edogawa, sejak 2001, para jurnalis di Nagoya mengesampingkan persaingan demi membangun NSL. Jaringan itu kumpulan wartawan sejumlah media massa di Nagoya yang rutin bertemu setiap bulan dengan para akademisi, peneliti, dan pemerintah daerah untuk membahas kesiapsiagaan kota mereka menghadapi bencana, terutama ancaman gempa dan tsunami.

Pada forum itu, para partisipan saling bicara terbuka tentang kelemahan sistem dan hal yang harus dibenahi. Disepakati, pertemuan itu tidak untuk dilaporkan, tetapi saling mempertajam perspektif dan kepekaan terhadap kotanya. "Selain menambah pengetahuan baru, terutama bagi jurnalis, hal itu juga untuk membangun kepercayaan antarpihak, terutama wartawan dan ilmuwan, yang cenderung berjarak," kata Kumamoto, mantan wartawan NHK.

Nobuhiro Igarashi dari Nagoya Broadcasting Network menambahkan, NSL membantu wartawan lebih paham soal kebencanaan karena bisa berdiskusi dengan para ilmuwan. Hal lebih penting, itu membantu meningkatkan tanggung jawab dan semangat para wartawan untuk turut mengurangi risiko bencana di kotanya.

Praktik peliputan bencana secara konstruktif itu tidak hanya dipraktikkan di Nagoya. Berbeda dengan kebanyakan media lain, termasuk Indonesia, media di Jepang tak menampilkan gambar mayat korban bencana. Bahkan, orang menangis.

Pada liputan tsunami Tohoku 2011, tak satu pun media Jepang (baik televisi, cetak, maupun daring) menampilkan gambar mayat korban. Gambar-gambar orang menangis pun susah ditemui. Bahkan, iklan layanan komersial pun menghilang dari televisi, digantikan iklan layanan masyarakat, seperti ajakan menghormati orangtua dan membantu orang lain.

Perbedaan media Indonesia dan Jepang dalam meliput bencana itu dikisahkan mantan wartawan senior koran Yomiuri Shimbun, Yoshinari Kurose, yang pernah bertugas di Indonesia 2002-2006. Ia juga meliput tsunami Aceh 2004. "Saya terkejut, gambar-gambar mayat mendominasi media di Indonesia. Di Jepang, media tidak bisa menampilkan cerita sedih yang bisa memicu trauma. Bagaimana penanganan korban, bagaimana hidup mereka selanjutnya. Itu lebih penting diberitakan."

Kecenderungan media di Jepang yang membingkai bencana lebih "konstruktif" itu memang bukan tanpa cela. Banyak kritik ditujukan kepada media-media di Jepang yang dinilai tak memberikan gambaran nyata kebocoran radiasi nuklir PLTN Fukushima, yang terpicu tsunami 2011. Kritik juga mengarah pada kecenderungan media di Jepang yang relatif seragam dan minim kritik pada kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana.

Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat Jepang terhadap media mereka menurun setelah tsunami 2011. Sebagian mencari info di internet dan media asing yang dianggap memberikan informasi lebih lengkap tentang ancaman radiasi Fukushima.

Belajar dari Jepang dan melihat realitas komodifikasi berita bencana di Indonesia, yang bisa dilakukan untuk memperbaiki mutu liputan di Indonesia adalah memperbaiki prosedur operasi standar meliput bencana, menegakkan kode etik, dan paling penting membangun kesadaran: meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah tanggung jawab bersama.

Sabtu, 19 Desember 2015

Pusat Riset Tsunami Unsyiah Jadi Unggulan Kemristekdikti

Pusat Riset Tsunami Unsyiah Jadi Unggulan Kemristekdikti

BANDA ACEH - Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, ditetapkan sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) binaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Penetapan lembaga yang lahir paskatsunami Aceh itu dilakukan langsung Menristekdikti, Mohd Nasir di Auditorium BPPT, Jakarta.

TDMRC Unsyiah juga menerima anugerah PUI 2015 dari Kemenristekdikti. Dalam kesempatan itu, TDMRC bersama 17 lembaga lainnya ditetapkan sebagai PUI binaan Kemenristekdikti periode 2016-2018. Sedangkan 12 lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) dijadikan PUI. PUI merupakan lembaga yang berdiri sendiri atau konsorsium, melaksanakan kegiatan-kegiatan riset bertaraf internasional pada bidang spesifik secara multi dan interdisiplin dengan standar hasil yang tinggi, serta relevan dengan kebutuhan pengguna Iptek.

Menurut Ketua TDMRC, Dr. Khairul Munadi, fokus unggulan yang dibebankan pada lembaga dipimpinnya adalah mitigasi bencana tsunami.

"Keberhasilan TDMRC ini cukup prestisius, karena hanya 45 lembaga yang masuk dalam kelompok PUI nasional, dari lebih 24 ribu lembaga litbang di seluruh Indonesia," katanya dalam siaran pers dikirim ke Okezone, Rabu (16/12/2015).

Untuk tahun ini, seleksi dilakukan sejak Juni 2015 berdasarkan proposal yang diajukan. Ada empat hal dinilai, yaitu kapasitas lembaga mengakses informasi, riset, diseminasi dan kapasitas mendayagunakan sumber daya lokal.

"Kami bersyukur, status PUI ini membanggakan sekaligus menjadi tantangan," sebut Rektor Unsyiah, Prof. Samsul Rizal.

Rasa bangga, kata dia, sangat mendasar karena ini merupakan salah satu hasil pembelajaran pascatsunami. Aceh tidak hanya pulih secara fisik, namun juga telah membangun kapasitas pengetahuan di bidang mitigasi tsunami. Rektor berharap TDMRC dapat lebih kontributif menghasilkan riset-riset terapan di masa depan.

"Tantangan ke depan, TDMRC tidak saja menghasilkan riset untuk pengembangan iptek, namun juga riset-riset aplikatif yang bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan masyarakat menghadapi bencana," ujar alumnus Toyohashi University of Technology, Jepang ini.

Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Said Rasul, berharap, sebagai PUI binaan Kemristekdikti, TDMRC bisa terus bermitra dengan BPBA.

"Semoga ke depan semakin banyak hasil-hasil riset TDMRC yang mewarnai program dan kegiatan pengelolaan bencana di Aceh." | OKEZONE.COM

Jumat, 14 Agustus 2015

Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Besar Dikukuhkan

Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Besar Dikukuhkan



BANDA ACEH - Bupati Aceh Besar, Mukhlis Basyah SSos, Kamis (13/8) mengukuhkan secara simbolis Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Besar Periode 2015-2018. Mereka yang dikukuhkan di Hotel Mekkah Banda Aceh itu terdiri atas Zulkiram

Hs Basri (Ketua), Firdaus ST (Sekretaris) dan seluruh pengurus lengkap.

Turut hadir Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir B Wisnu Widjaya MSc, Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Ketua DPRK Aceh Besar, Sulaiman SE, Kepala Pelaksana BPBA yang diwakili H Asmauddin SE, Kepala BPBD Aceh Besar, Ridwan Jamil SSos MSi, perwakilan perusahaan di Aceh Besar, camat, dan sejumlah tamu undangan lainnya.

Bupati dalam sambutannya antara lain berharap, pengurus forum itu dapat memperkuat solidaritas sehingga dapat menjalankan misi kemanusiaan dalam mengurangi risiko bencana di Aceh Besar. “Saya berterima kasih kepada IOM dan BPBD Aceh Besar yang sudah membentuk forum ini,” ujarnya. Bupati juga berharap Pemerintah Pusat dapat membantu berbagai perlengkapabn yang dapat digunakan untuk penanggulangan pencegahan bencana di Aceh Besar.

Seusai pengukuhan pengurus forum itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir B Wisnu Widjaya MSc melakukan diskusi dengan lembaga usaha yang ada di Aceh Besar. Dalam acara yang bertajuk fasilitasi dan penguatan forum pengurangan risiko bencana berbasis lembaga usaha itu, Wisnu berharap peran aktif lembaga usaha dalam manajemen kebencanaan. “Anggap peran itu sebagai investasi, bukan cost. Karena perusahaan juga punya kepentingan timbal balik dengan warga sekitar,” ujarnya.

Upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan, menurut Wisnu, merupakan investasi untuk mempertahankan dan meningkatkan profit usaha. “Keterlibatan dunia usaha dalam pencegahan melalui pengurangan risiko bencana dapat mengamankan aktivitas supply chain perusahaan,” timpal Wisnu. Ditambahkan, dunia usaha harus melihat paradigma baru bahwa kerja sama dengan pemerintah dalam penanganan bencana dapat dilakukan dengan win win solution yang saling menguntungkan.(jal)

sumber: http://aceh.tribunnews.com/

Kamis, 19 Februari 2015

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana


Oleh: A’an Efendi *)
Rabu, 18 Februari 2015 , 05:00:17 WIB - Opini    


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) telah berusia tujuh tahun lebih atau akan genap berusia delapan tahun pada 26 April 2015 mendatang. Usia yang tak lagi bisa dibilang muda tentunya. Lalu di usianya yang sudah matang itu apa yang telah dilakukan oleh UUPB untuk menanggulangi bencana di tanah air?

Seperti kita ketahui bencana tetap rutin terjadi tiap tahunnya. Bahkan di tahun 2015 ini bencana banjir bandang melanda beberapa wilayah nusantara. Di Jawa Timur, banjir menyapa wilayah Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Sampang, dan lain-lain. Di Jawa Barat, banjir telah berhasil merendam wilayah Kabupaten Bandung dan Bekasi. Di Provinsi Banten, banjir menghampiri wilayah Tangerang. Di Kalimantan Utara, banjir melanda Bulungan sementara di Sumatera banjir menerjang wilayah Lampung Selatan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya Ibukota Jakarta pun tak luput dari hantaman bencana banjir. Bahkan banjir ibukota tahun ini telah berhasil menyerbu istana negara hingga memunculkan wacana perpindahan Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor supaya tidak mengganggu tugas-tugas kepresidenannya. Bencana tidak hanya telah merenggut harta benda manusia tetapi tidak jarang merenggut pula kehidupan manusia. Bencana telah menguras energi dan air mata anak negeri.

Kalaupun bencana terus terusan terjadi meski telah ada UUPB tidak serta merta kita bisa menyalahkan UUPB. Kita tidak bisa bilang UUPB tidak implementatif atau UUPB yang usianya hampir mencapai delapan tahun itu tidak mampu menghadang laju bencana. Tugas pokok UUPB memang bukan untuk mencegah terjadinya bencana.

Sesuai namanya tugas utama UUPB adalah menanggulangi bencana yang telah datang bukan mencegah datangnya bencana. Secara berkelakar UUPB malah sering disebut undang-undang yang "undang-undang" (baca meminta datang/mengundang) bencana dan kemudian ditanggulangi.

Supaya UUPB lebih bertaji maka dibentuk lembaga yang disebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat pusat dan tingkat daerah ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tugas pokoknya mengejawantahkan maksud dan kehendak UUPB. Tanpa BNPB-BPBD tentu saja UUPB tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tanpa BNPB-BPBD UUPB hanyalah untaian kata-kata belaka. Hanya sekadar macan kertas.

Bencana itu sendiri dapat terjadi karena faktor alam atau ulah manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam dikategorikan sebagai Act of God yaitu terjadi secara alami yang melebihi antisipasi dan kendali manusia seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, badai salju, dan angin topan. Hanya bencana yang disebabkan oleh alam yang dapat dikualifikasi sebagai bencana alam dan tidak meliputi bencana oleh ulah manusia. Bencana yang terjadi karena perbuatan manusia tidak termasuk bencana alam.

Pembedaan bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia berimplikasi sangat penting bagi hukum. Bencana alam yang terjadi karena proses alam atau disebut Act of God maka tidak ada pihak yang dapat dibebani tanggung jawab hukum. Tidak ada tanggung jawab hukum bagi alam. Alam tidak tidak dapat menjadi pihak tergugat di pengadilan untuk dituntut membayar ganti kerugian. Kerugian akibat bencana alam menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu bila bencana disebabkan oleh perbuatan manusia maka pelakunya dapat dibebani tanggung jawab hukum untuk membayar ganti kerugian, menghentikan sumber bencana, dan memulihkan dampak buruk akibat bencana itu. Tak heran tiap terjadi bencana selalu digiring menjadi bencana alam yang tujuannya jelas untuk lepas dari tanggung jawab hukum walaupun untuk itu tak segan alam harus dijadikan kambing hitam. Alam kerap dituduh sebagai biang keladi terjadinya bencana.

Kembali ke UUPB. Sesuai nama dan materi muatannya maka UUPB lebih mengedepankan tindakan penanggulangan bencana yang sudah terjadi. Yang demikian sebenarnya UUPB telah melakukan penentangan yang kasatmata tidak hanya terhadap prinsip pokok yang dianut hukum tetapi terhadap prinsip yang berlaku umum bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Prevention is better than cure. Tindakan pencegahan adalah golden rule bagi hukum.

Pencegahan selalu dipandang lebih menguntungkan dibandingkan tindakan penanggulangan, baik itu dari aspek ekologis, ekonomi, maupun sosial. Tindakan penanggulangan yang fokusnya memperbaiki dampak kerusakan pasca bencana seringkali tidak mungkin dilakukan terhadap bencana yang menimbulkan kepunahan spesies flora dan fauna, erosi, atau hilangnya nyawa sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah. Bahkan bila dampak suatu bencana dapat diperbaiki, mahalnya biaya rehabilitasi sering menjadi penghalang.

Pencegahan bencana alam dilakukan dengan mengembangkan teknologi pendeteksi bencana yang tujuannya untuk mengetahui potensi terjadinya bencana sejak dini. Jika sejak awal telah diketahui akan terjadi bencana maka dapat segera dilakukan tindakan relokasi bagi warga masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana untuk meminimalkan kerugian.

Bagi bencana yang disebabkan oleh manusia tindakan pencegahannya adalah pengawasan yang terus menerus terhadap aktivitas manusia yang punya potensi merusak lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Jika dari pengawasan itu ditemukan tindakan manusia yang merusak lingkungan maka harus segera dihentikan.

Dalam perspektif hukum, pengawasan adalah instrumen penegakan hukum yang sifatnya preventif yang tujuannya mencegah perbuatan pelanggaran sedangkan untuk menghentikan pelanggaran instrumennya adalah penjatuhan sanksi.

Sanksi meliputi sanksi administrasi untuk menghentikan perbuatan pelanggaran, sanksi pidana untuk menghukum dan membuat jera pelanggar agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan sanksi perdata untuk memberikan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan oleh si pelanggar. Jadi ada perlakuan yang berbeda karena keduanya memang tidak sama.

Revisi UUPB

Beruntung Komisi VIII DPR RI dan BNPB telah berencana merevisi UUPB. Namun patut disayangkan wacana revisi UUPB itu tidak menyentuh jantungnya UUPB. Revisi hanya menyangkut penguatan peran BNPB dan BPBD dan terutama menyangkut peran BPBD dalam melakukan kerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam penanggulangan bencana serta dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan bencana (www.antaranews.com, 21/1/2015).

Penting memang tetapi belum menyentuh yang fundamental dari UUPB. Revisi UUPB seharusnya mengubah pondasi UUPB yang semula prinsip pokoknya menanggulangi bencana menjadi mencegah bencana. Dari yang awalnya bertitik tolak pada penanggulangan menjadi fokus pada pencegahan. Dari revisi itu bahkan seharusnya dapat melahirkan UUPPB alias undang-undang pencegahan dan penanggulangan bencana.

BNPB pun harusnya berevolusi menjadi BNPPB atau Badan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana yang tugas pokok dan fungsinya adalah mencegah bencana dan baru menanggulangi bencana jika tindakan pencegahan tidak mampu menghadang datangnya bencana. Jadi yang nomor satu adalah mencegah terjadinya bencana dan yang nomor dua baru menanggulangi bencana.

Sekali lagi harus diingat ungkapan yang sangat populer "an ounce of prevention is worth a pound care". Tindakan pencegahan walaupun sedikit akan lebih baik dibandingkan tindakan yang banyak tetapi wujudnya tindakan perbaikan.| sumber: http://www.gresnews.com/berita/opini/50182-bencana-dan-uu-penanggulangan-bencana/

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga