Butuh Peta Zona Rawan Bencana
Gempa Dan Tsunamisumber: harian serambi indonesia / senin 26 desember 2016
AHLI gempa dari Unsyiah, Nazli Ismail PhD berharap Pemerintah Aceh segera membuat peta zona rawan bencana sebagai panduan bagi masyarakat dalam berinvestasi maupun mendirikan tempat tinggalnya. Untuk itu, kata dia, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan akademisi khususnya ahli Ilmu Kebumian yang telah meneliti secara terus menerus bencana yang terjadi di Aceh.
“Selama ini belum ada peta zona rawan bencana sebagai panduan untuk masyarakat. Bahkan dalam membangun gedung dan infrastruktur lainnya, pemerintah masih mengenyampingkan hal itu,” ujar Nazli yang ditemui Serambi, Rabu (14/12) di Gedung Hyogo Prefecture Unsyiah, Banda Aceh.
Menurut Nazli, selain membuat peta zona rawan bencana, pemerintah juga harus memperketat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta membuat building code. “Coba perhatikan berapa banyak bangunan tinggi milik pribadi yang ada di Banda Aceh. Jika terjadi gempa, ini bukan lagi menjadi tanggung jawab pribadi,” katanya.
Dijelaskan, sebagian besar wilayah Aceh memiliki tanah alluvium (tanah liat yang menampung air) yang labil terhadap guncangan. Ditambah lagi letak Patahan Sumatera yang melewati hampir seluruh wilayah Aceh, menjadi ancaman serius bagi masyarakat saat terjadi gempa.
Nazli mengatakan, Patahan Sumatera secara umum terbagi atas dua segmen, yaitu Segmen Seulimuem yang melewati Gempang-Krueng Raya-Pulau Weh, serta Segmen Aceh yang dimulai dari Gempang-Banda Aceh–Lhoknga-Pulo Aceh-Andaman. “Selain dua itu, juga ada Patahan Batee, Samalanga, Lhokseumawe, dan Gayo Lues,” sebutnya.
Hingga kini, lanjut Nazli, berdasarkan penelitian para ahli, dua segmen/patahan yang paling aktif adalah Seulimuem dan Samalanga. Yang menyedihkan lagi, kata dia, di sepanjang dua segmen aktif tersebut terdapat banyak bangunan besar, pusat pemerintahan, sekolah, jembatan, hingga permukiman penduduk.
“Saya teringat gempa Bener Meriah, Tangse, Pidie Jaya, semuanya gempa darat yang berdekatan dengan Patahan Samalanga. Saya menduga ada patahan lain di sekitar itu yang belum teridentifikasi,” kata Nazli.
Terkait gempa 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya pada 7 Desember lalu, Nazli Ismail menilai skala tersebut terbilang kecil untuk sebuah gempa darat. Namun karena lokasinya berada di pemukiman padat penduduk, ditambah kualitas bangunan yang buruk, sehingga menimbulkan dampak yang cukup parah.
Dia mengatakan, ujung Utara Sumatera (Aceh) sudah tidak mengalami gempa besar dalam kurun waktu 170 tahun. Sedangkan di ujung Selatan Sumatera yaitu Lampung, Liwa, Bengkulu, Jambi, dan Padang mengalami gempa besar dalam waktu yang berdekatan.
“Hal ini menimbulkan dua makna. Pertama, Patahan Sumatera menyimpan energi dan mengeluarkannya kecil-kecil. Kedua, gempa Pijay sebagai pertanda awal dari gempa yang lebih besar, kita harap tidak demikian,” ujar Nazli, seraya mengutip perhitungan para ahli gempa yang menyatakan, suatu wilayah yang dilalui patahan akan berpotensi mengalami gempa setelah 170 tahun lebih.
Pada bagian lain, Nazli Ismail juga mengungkapkan dirinya sedang meneliti tentang adanya kaitan antara tsunami besar dan hilangnya peradaban Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, katanya, gempa dan tsunami di Aceh terjadi berulang kali dan mengakibatkan musnahnya suatu peradaban.
Dicontohkan, tsunami di Lamreh, Aceh Besar memusnahkan kerajaan besar bernama Lamuri di sana. “Tak hanya Lamuri, kerajaan besar Aceh lainnya yaitu Samudera Pasai, Aceh Darussalam, juga hilang setelah tsunami,” ujarnya, seraya menyebut tsunami tahun 2004 juga menyebabkan hilangnya masa konflik di Aceh.
Ditambahkan, penelitian itu diperkuat lagi dengan temuan tanah di Aceh Besar yang menunjukkan adanya gempa yang terjadi berulang kali pada masa lalu. “Aceh dari zaman dulu memiliki catatan gempa besar dan tsunami. Seharusnya kita belajar dari pengalaman ini,” jelasnya.
Selain itu, Nazli Ismail juga mengomentari kebijakan Pemerintah Aceh yang terkesan ‘ngotot’ membangun sentra pariwisata di wilayah rawan bencana. Dia mencontohkan Sabang, yang merupakan wilayah yang dilalui Segmen Seulimeum. “Hari ini pemerintah menjadikan Pulau Weh sebagai kawasan ekonomi terpadu, pusat pariwisata, bahkan ada wacana tol laut. Kenapa sulit terealisasi?,” ujar Nazli.
Menurutnya, para investor luar sangat teliti dalam melakukan investasi. Mereka hanya akan berinvestasi di wilayah yang jelas record-nya. “Di bawah Sabang ada Patahan Seulimuem, juga ada gunung api di sana. Ini sebenarnya jadi jawaban bagi kita kenapa daerah ini sulit berkembang,” katanya, seraya menyebut pihak yang mewacanakan itu adalah orang yang tidak mengetahui potensi ancaman di Sabang.
Dia juga mencontohkan Redelong. Kota Bener Meriah itu dibangun persis di bawah gunung api aktif Burni Telong. “Pusat pemerintahan, perkantoran, permukiman penduduk, semuanya dibangun di kaki gunung api. Ancaman besar ini seharusnya dipahami pemerintah,” tandasnya.
Oleh karena itu, kata Nazli, pengetahuan kebencanaan seharusnya merasuk ke dalam pikiran masyarakat, sehingga setiap perilaku dan tindakannya selalu siaga bencana. “Ingat, bencana di Aceh bukan cuma tsunami, sebab kemungkinan terjadi ratusan tahun lagi. Yang selalu terjadi adalah gempa bumi, banjir, longsor, dan kebakaran,” kata Nazli.
Dia juga berharap Pemerintah Aceh dapat menangani bencana secara serius yaitu dimulai dengan pencegahan. “Pembangunan jangan hanya selalu diartikan secara fisik. Sebab, membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana itu jauh lebih penting,” ujar Nazli seraya menyebut Unsyiah dengan sejumlah ahli Ilmu Kebumiaan siap membantu Pemerintah Aceh dalam merealisasikan hal itu.(fit)
AHLI gempa dari Unsyiah, Nazli Ismail PhD berharap Pemerintah Aceh segera membuat peta zona rawan bencana sebagai panduan bagi masyarakat dalam berinvestasi maupun mendirikan tempat tinggalnya. Untuk itu, kata dia, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan akademisi khususnya ahli Ilmu Kebumian yang telah meneliti secara terus menerus bencana yang terjadi di Aceh.
“Selama ini belum ada peta zona rawan bencana sebagai panduan untuk masyarakat. Bahkan dalam membangun gedung dan infrastruktur lainnya, pemerintah masih mengenyampingkan hal itu,” ujar Nazli yang ditemui Serambi, Rabu (14/12) di Gedung Hyogo Prefecture Unsyiah, Banda Aceh.
Menurut Nazli, selain membuat peta zona rawan bencana, pemerintah juga harus memperketat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta membuat building code. “Coba perhatikan berapa banyak bangunan tinggi milik pribadi yang ada di Banda Aceh. Jika terjadi gempa, ini bukan lagi menjadi tanggung jawab pribadi,” katanya.
Dijelaskan, sebagian besar wilayah Aceh memiliki tanah alluvium (tanah liat yang menampung air) yang labil terhadap guncangan. Ditambah lagi letak Patahan Sumatera yang melewati hampir seluruh wilayah Aceh, menjadi ancaman serius bagi masyarakat saat terjadi gempa.
Nazli mengatakan, Patahan Sumatera secara umum terbagi atas dua segmen, yaitu Segmen Seulimuem yang melewati Gempang-Krueng Raya-Pulau Weh, serta Segmen Aceh yang dimulai dari Gempang-Banda Aceh–Lhoknga-Pulo Aceh-Andaman. “Selain dua itu, juga ada Patahan Batee, Samalanga, Lhokseumawe, dan Gayo Lues,” sebutnya.
Hingga kini, lanjut Nazli, berdasarkan penelitian para ahli, dua segmen/patahan yang paling aktif adalah Seulimuem dan Samalanga. Yang menyedihkan lagi, kata dia, di sepanjang dua segmen aktif tersebut terdapat banyak bangunan besar, pusat pemerintahan, sekolah, jembatan, hingga permukiman penduduk.
“Saya teringat gempa Bener Meriah, Tangse, Pidie Jaya, semuanya gempa darat yang berdekatan dengan Patahan Samalanga. Saya menduga ada patahan lain di sekitar itu yang belum teridentifikasi,” kata Nazli.
Terkait gempa 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya pada 7 Desember lalu, Nazli Ismail menilai skala tersebut terbilang kecil untuk sebuah gempa darat. Namun karena lokasinya berada di pemukiman padat penduduk, ditambah kualitas bangunan yang buruk, sehingga menimbulkan dampak yang cukup parah.
Dia mengatakan, ujung Utara Sumatera (Aceh) sudah tidak mengalami gempa besar dalam kurun waktu 170 tahun. Sedangkan di ujung Selatan Sumatera yaitu Lampung, Liwa, Bengkulu, Jambi, dan Padang mengalami gempa besar dalam waktu yang berdekatan.
“Hal ini menimbulkan dua makna. Pertama, Patahan Sumatera menyimpan energi dan mengeluarkannya kecil-kecil. Kedua, gempa Pijay sebagai pertanda awal dari gempa yang lebih besar, kita harap tidak demikian,” ujar Nazli, seraya mengutip perhitungan para ahli gempa yang menyatakan, suatu wilayah yang dilalui patahan akan berpotensi mengalami gempa setelah 170 tahun lebih.
Pada bagian lain, Nazli Ismail juga mengungkapkan dirinya sedang meneliti tentang adanya kaitan antara tsunami besar dan hilangnya peradaban Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, katanya, gempa dan tsunami di Aceh terjadi berulang kali dan mengakibatkan musnahnya suatu peradaban.
Dicontohkan, tsunami di Lamreh, Aceh Besar memusnahkan kerajaan besar bernama Lamuri di sana. “Tak hanya Lamuri, kerajaan besar Aceh lainnya yaitu Samudera Pasai, Aceh Darussalam, juga hilang setelah tsunami,” ujarnya, seraya menyebut tsunami tahun 2004 juga menyebabkan hilangnya masa konflik di Aceh.
Ditambahkan, penelitian itu diperkuat lagi dengan temuan tanah di Aceh Besar yang menunjukkan adanya gempa yang terjadi berulang kali pada masa lalu. “Aceh dari zaman dulu memiliki catatan gempa besar dan tsunami. Seharusnya kita belajar dari pengalaman ini,” jelasnya.
Selain itu, Nazli Ismail juga mengomentari kebijakan Pemerintah Aceh yang terkesan ‘ngotot’ membangun sentra pariwisata di wilayah rawan bencana. Dia mencontohkan Sabang, yang merupakan wilayah yang dilalui Segmen Seulimeum. “Hari ini pemerintah menjadikan Pulau Weh sebagai kawasan ekonomi terpadu, pusat pariwisata, bahkan ada wacana tol laut. Kenapa sulit terealisasi?,” ujar Nazli.
Menurutnya, para investor luar sangat teliti dalam melakukan investasi. Mereka hanya akan berinvestasi di wilayah yang jelas record-nya. “Di bawah Sabang ada Patahan Seulimuem, juga ada gunung api di sana. Ini sebenarnya jadi jawaban bagi kita kenapa daerah ini sulit berkembang,” katanya, seraya menyebut pihak yang mewacanakan itu adalah orang yang tidak mengetahui potensi ancaman di Sabang.
Dia juga mencontohkan Redelong. Kota Bener Meriah itu dibangun persis di bawah gunung api aktif Burni Telong. “Pusat pemerintahan, perkantoran, permukiman penduduk, semuanya dibangun di kaki gunung api. Ancaman besar ini seharusnya dipahami pemerintah,” tandasnya.
Oleh karena itu, kata Nazli, pengetahuan kebencanaan seharusnya merasuk ke dalam pikiran masyarakat, sehingga setiap perilaku dan tindakannya selalu siaga bencana. “Ingat, bencana di Aceh bukan cuma tsunami, sebab kemungkinan terjadi ratusan tahun lagi. Yang selalu terjadi adalah gempa bumi, banjir, longsor, dan kebakaran,” kata Nazli.
Dia juga berharap Pemerintah Aceh dapat menangani bencana secara serius yaitu dimulai dengan pencegahan. “Pembangunan jangan hanya selalu diartikan secara fisik. Sebab, membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana itu jauh lebih penting,” ujar Nazli seraya menyebut Unsyiah dengan sejumlah ahli Ilmu Kebumiaan siap membantu Pemerintah Aceh dalam merealisasikan hal itu.(fit)