Kamis, 19 Februari 2015

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana


Oleh: A’an Efendi *)
Rabu, 18 Februari 2015 , 05:00:17 WIB - Opini    


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) telah berusia tujuh tahun lebih atau akan genap berusia delapan tahun pada 26 April 2015 mendatang. Usia yang tak lagi bisa dibilang muda tentunya. Lalu di usianya yang sudah matang itu apa yang telah dilakukan oleh UUPB untuk menanggulangi bencana di tanah air?

Seperti kita ketahui bencana tetap rutin terjadi tiap tahunnya. Bahkan di tahun 2015 ini bencana banjir bandang melanda beberapa wilayah nusantara. Di Jawa Timur, banjir menyapa wilayah Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Sampang, dan lain-lain. Di Jawa Barat, banjir telah berhasil merendam wilayah Kabupaten Bandung dan Bekasi. Di Provinsi Banten, banjir menghampiri wilayah Tangerang. Di Kalimantan Utara, banjir melanda Bulungan sementara di Sumatera banjir menerjang wilayah Lampung Selatan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya Ibukota Jakarta pun tak luput dari hantaman bencana banjir. Bahkan banjir ibukota tahun ini telah berhasil menyerbu istana negara hingga memunculkan wacana perpindahan Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor supaya tidak mengganggu tugas-tugas kepresidenannya. Bencana tidak hanya telah merenggut harta benda manusia tetapi tidak jarang merenggut pula kehidupan manusia. Bencana telah menguras energi dan air mata anak negeri.

Kalaupun bencana terus terusan terjadi meski telah ada UUPB tidak serta merta kita bisa menyalahkan UUPB. Kita tidak bisa bilang UUPB tidak implementatif atau UUPB yang usianya hampir mencapai delapan tahun itu tidak mampu menghadang laju bencana. Tugas pokok UUPB memang bukan untuk mencegah terjadinya bencana.

Sesuai namanya tugas utama UUPB adalah menanggulangi bencana yang telah datang bukan mencegah datangnya bencana. Secara berkelakar UUPB malah sering disebut undang-undang yang "undang-undang" (baca meminta datang/mengundang) bencana dan kemudian ditanggulangi.

Supaya UUPB lebih bertaji maka dibentuk lembaga yang disebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat pusat dan tingkat daerah ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tugas pokoknya mengejawantahkan maksud dan kehendak UUPB. Tanpa BNPB-BPBD tentu saja UUPB tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tanpa BNPB-BPBD UUPB hanyalah untaian kata-kata belaka. Hanya sekadar macan kertas.

Bencana itu sendiri dapat terjadi karena faktor alam atau ulah manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam dikategorikan sebagai Act of God yaitu terjadi secara alami yang melebihi antisipasi dan kendali manusia seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, badai salju, dan angin topan. Hanya bencana yang disebabkan oleh alam yang dapat dikualifikasi sebagai bencana alam dan tidak meliputi bencana oleh ulah manusia. Bencana yang terjadi karena perbuatan manusia tidak termasuk bencana alam.

Pembedaan bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia berimplikasi sangat penting bagi hukum. Bencana alam yang terjadi karena proses alam atau disebut Act of God maka tidak ada pihak yang dapat dibebani tanggung jawab hukum. Tidak ada tanggung jawab hukum bagi alam. Alam tidak tidak dapat menjadi pihak tergugat di pengadilan untuk dituntut membayar ganti kerugian. Kerugian akibat bencana alam menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu bila bencana disebabkan oleh perbuatan manusia maka pelakunya dapat dibebani tanggung jawab hukum untuk membayar ganti kerugian, menghentikan sumber bencana, dan memulihkan dampak buruk akibat bencana itu. Tak heran tiap terjadi bencana selalu digiring menjadi bencana alam yang tujuannya jelas untuk lepas dari tanggung jawab hukum walaupun untuk itu tak segan alam harus dijadikan kambing hitam. Alam kerap dituduh sebagai biang keladi terjadinya bencana.

Kembali ke UUPB. Sesuai nama dan materi muatannya maka UUPB lebih mengedepankan tindakan penanggulangan bencana yang sudah terjadi. Yang demikian sebenarnya UUPB telah melakukan penentangan yang kasatmata tidak hanya terhadap prinsip pokok yang dianut hukum tetapi terhadap prinsip yang berlaku umum bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Prevention is better than cure. Tindakan pencegahan adalah golden rule bagi hukum.

Pencegahan selalu dipandang lebih menguntungkan dibandingkan tindakan penanggulangan, baik itu dari aspek ekologis, ekonomi, maupun sosial. Tindakan penanggulangan yang fokusnya memperbaiki dampak kerusakan pasca bencana seringkali tidak mungkin dilakukan terhadap bencana yang menimbulkan kepunahan spesies flora dan fauna, erosi, atau hilangnya nyawa sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah. Bahkan bila dampak suatu bencana dapat diperbaiki, mahalnya biaya rehabilitasi sering menjadi penghalang.

Pencegahan bencana alam dilakukan dengan mengembangkan teknologi pendeteksi bencana yang tujuannya untuk mengetahui potensi terjadinya bencana sejak dini. Jika sejak awal telah diketahui akan terjadi bencana maka dapat segera dilakukan tindakan relokasi bagi warga masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana untuk meminimalkan kerugian.

Bagi bencana yang disebabkan oleh manusia tindakan pencegahannya adalah pengawasan yang terus menerus terhadap aktivitas manusia yang punya potensi merusak lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Jika dari pengawasan itu ditemukan tindakan manusia yang merusak lingkungan maka harus segera dihentikan.

Dalam perspektif hukum, pengawasan adalah instrumen penegakan hukum yang sifatnya preventif yang tujuannya mencegah perbuatan pelanggaran sedangkan untuk menghentikan pelanggaran instrumennya adalah penjatuhan sanksi.

Sanksi meliputi sanksi administrasi untuk menghentikan perbuatan pelanggaran, sanksi pidana untuk menghukum dan membuat jera pelanggar agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan sanksi perdata untuk memberikan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan oleh si pelanggar. Jadi ada perlakuan yang berbeda karena keduanya memang tidak sama.

Revisi UUPB

Beruntung Komisi VIII DPR RI dan BNPB telah berencana merevisi UUPB. Namun patut disayangkan wacana revisi UUPB itu tidak menyentuh jantungnya UUPB. Revisi hanya menyangkut penguatan peran BNPB dan BPBD dan terutama menyangkut peran BPBD dalam melakukan kerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam penanggulangan bencana serta dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan bencana (www.antaranews.com, 21/1/2015).

Penting memang tetapi belum menyentuh yang fundamental dari UUPB. Revisi UUPB seharusnya mengubah pondasi UUPB yang semula prinsip pokoknya menanggulangi bencana menjadi mencegah bencana. Dari yang awalnya bertitik tolak pada penanggulangan menjadi fokus pada pencegahan. Dari revisi itu bahkan seharusnya dapat melahirkan UUPPB alias undang-undang pencegahan dan penanggulangan bencana.

BNPB pun harusnya berevolusi menjadi BNPPB atau Badan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana yang tugas pokok dan fungsinya adalah mencegah bencana dan baru menanggulangi bencana jika tindakan pencegahan tidak mampu menghadang datangnya bencana. Jadi yang nomor satu adalah mencegah terjadinya bencana dan yang nomor dua baru menanggulangi bencana.

Sekali lagi harus diingat ungkapan yang sangat populer "an ounce of prevention is worth a pound care". Tindakan pencegahan walaupun sedikit akan lebih baik dibandingkan tindakan yang banyak tetapi wujudnya tindakan perbaikan.| sumber: http://www.gresnews.com/berita/opini/50182-bencana-dan-uu-penanggulangan-bencana/

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga

Selasa, 10 Februari 2015

Jurnalisme Bencana Tanpa Air Mata

Jurnalisme Bencana Tanpa Air Mata

Oleh: Ahmad Arif
Kompas, 8 Febuari 2015

Media massa selama ini dianggap lebih kerap memotret bencana setelah terjadi dengan pendekatan ”bad news is good news”. Semakin banyak kematian, darah, dan air mata dianggap kian dramatis dan menarik diberitakan. Ke depan, media massa dituntut lebih berperan dalam pengurangan risiko bencana.

Kritik terhadap media massa di Indonesia selalu menderas dalam setiap peliputan bencana. Misalnya, dalam peliputan jatuhnya AirAsia QZ8501 baru-baru ini, media massa, utamanya televisi, banyak dihujat karena menayangkan jasad korban yang tengah dievakuasi. Media sosial dipenuhi komentar nyinyir tentang cara beberapa televisi yang dianggap menabrak etika.

Bahkan, media-media Barat yang dikenal memiliki kebebasan pers turut mengecamnya, seperti ditulis Times (30/1), ”AirAsia Relatives in Shock as Indonesian TV Airs Images of Floating Body.” Beberapa pertanyaan wartawan televisi juga dianggap terlalu mengeksploitasi perasaan korban. Wajah keluarga korban berduka diperbesar, lalu dicecar pertanyaan berulang yang menyudutkan. Sejumlah pertanyaan itu di antaranya, ”Bagaimana perasaan ibu? Ada berapa keluarga ibu di pesawat, siapa saja, tujuan mau ke mana?”

Bahkan ada wartawan yang bertanya, ”Ada nggak yang ingin ibu sampaikan pada kerabat ibu yang ada di dalam pesawat itu?”

Kritik di media sosial pun terlihat dalam peliputan bencana saat longsor melanda Banjarnegara, Jawa Tengah, awal Desember 2014. Tren peliputannya serupa, mengejar sisi dramatis, dan minim menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran demi perbaikan.

Kasus peliputan bencana yang sensasional juga terlihat dalam tayangan infotainment saat Merapi meletus pada 2010. Dengan mewawancarai paranormal, tayangan itu menyebut Yogyakarta adalah kota malapetaka dan pada 8 November 2010 akan terjadi bencana besar.

Dampaknya, korban letusan Merapi bertambah resah. Ratusan pengungsi meminta dipindahkan dari pos-pos pengungsian ke lokasi lebih jauh. Para relawan disibukkan kegiatan tambahan untuk menenangkan pengungsi yang panik.

Dengan tren pemberitaan bencana hanya berorientasi mengejar sensasi, media biasanya akan segera melupakan korban bencana begitu ”drama-nya” dianggap tak lagi laris. Media massa seolah menjelma jadi burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis korban, lalu mencari kematian lain.

Pemberitaan soal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana nyaris tak disuarakan. Padahal, dalam banyak kasus, misalnya setelah bencana Aceh, proses rekonstruksi memicu bencana baru karena ada kesenjangan, korupsi, hingga kembalinya korban ke tapak bencana yang sama sehingga rentan terdampak bencana berikutnya.

Proses rekonstruksi juga amat menentukan untuk belajar agar ke depan bisa membangun komunitas lebih tahan dan kuat menghadapi bencana berikut. Namun, itu amat jarang mendapat perhatian media massa.Tak ada media yang intens memantau kondisi korban bencana tsunami di Mentawai dan banjir Wasior tahun 2010. Dalam kasus beberapa kali kecelakaan pesawat terbang, ketika lebih fokus pada aspek dramatisasi, peliputan lebih mendalam tentang penyebab jatuhnya pesawat amat minim diungkap.

Kecenderungan media yang mengeksploitasi drama dan kesedihan itu tak hanya berlaku di Indonesia. Pada simposium tentang bencana dan media yang digelar Foreign Press Center Japan (FPCJ) di Tokyo, Jepang, pertengahan Januari 2015 lalu, Kepala Biro Tokyo Deutsche Presse-Agentur, Lars Nicolaysen, menyatakan, jika mau jujur, wartawan cenderung memberitakan bencana dengan perspektif ”bad news is good news”, kian banyak korban dan dramatis, makin menarik diberitakan.

Fenomena ini, menurut sosiolog media, John H Macmanus dalam bukunya, Market Driven Journalism (1994), karena media telah terbelenggu dorongan logika komersial semata. Aspek dramatis dianggap lebih menjual, menaikkan rating, dan pada gilirannya dianggap akan mendatangkan iklan.

Tanggung jawab media
Dalam simposium yang diikuti kalangan media, praktisi kebencanaan, dan akademisi ini, sebagian peserta berharap media massa tak hanya melaporkan tragedi. Sekretaris Jenderal PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana Margareta Wahlstrom, melalui pesan video, mengharapkan media massa aktif berkontribusi mengantisipasi, mencegah, dan mendorong perubahan kebijakan demi mewujudkan dunia lebih aman dari bencana.

Dalam simposium ini, Kaori Hayashi, mantan wartawan yang juga profesor pada Universitas Tokyo, memaparkan hasil risetnya terkait pemberitaan media televisi di sejumlah negara tentang bencana kebocoran reaktor nuklir Fukushima Daiichi setelah tsunami 2011. Media di Jepang lebih banyak mengutip sumber pemerintah dan TEPCO, perusahaan operator Fukushima Daiichi. Ia menyoroti adanya kisha club (klub wartawan) di Jepang menyebabkan pemberitaan media seragam dan kehilangan daya kritis.

Selain kritik ini, media massa di Jepang berbeda dengan kebanyakan media lain di dunia. Mereka lebih hati-hati memberitakan bencana, terutama jika terkait korban. Media massa di Jepang tak pernah menampilkan jasad korban, bahkan amat minim menampilkan wajah keluarga korban yang berduka.

Media di Jepang lebih banyak berperan memberi harapan dan semangat kepada warga untuk pulih atau bangkit dari bencana, dibandingkan mengungkapkan kehancuran atau kisah sedih. Bahkan, iklan layanan komersial pun menghilang dari televisi di Jepang hingga dua minggu setelah tsunami, digantikan iklan layanan masyarakat seperti ajakan menghormati orang tua dan membantu orang lain.

Secara terpisah, Kepala Editor Ishinomaki Shimbun, Hiroyuki Takeuchi, mengonfirmasi hal itu. ”Awalnya saya berpikir untuk menulis berita apa adanya; korban-korban demikian banyak, rumah-rumah hancur. Namun, kalau saya hanya menulis begitu, kota ini akan mati. Korban kian terpukul. Maka, kami pilih membuat tulisan yang memberi harapan. Ini bagian tanggung jawab kami,” katanya.

Ishinomaki Shimbun, koran lokal di Kota Ishinomaki, kantornya terlanda tsunami sehingga merusak mesin cetaknya. Mereka terpaksa menerbitkan koran dengan ditulis tangan selama sepekan. Saat terbit pada hari kedua setelah tsunami (edisi 13 Maret 2011), mereka memilih judul headline ”Listrik Telah Dipulihkan”. Isi beritanya tentang bantuan yang datang dari berbagai pihak dan pengungsi diminta tak perlu khawatir. Selain itu diinformasikan rencana listrik akan pulih di 13 kecamatan, dan sekolah libur tanggal 18. ”Korban sudah banyak menderita, kami perlu memberikan berita yang memberi harapan,” kata Takeuchi.

Kanai Mitsuyoshi, fotografer senior dari Kobe Shimbun menyatakan, ”Gambar orang menangis atau mayat akan dianggap teror bagi publik di Jepang, karena itu dihindari wartawan.”

Kanai meliput gempa Kobe pada 1995. ”Saya memotret orang meninggal, itu tak pernah kami tampilkan di koran. Kami memilih gambar dan kisah yang memberi semangat.”

Hingga kini, tak ada aturan hukum melarang itu. Namun, itu lebih ke kontrol diri di kalangan media di Jepang. Kritik banyak dialamatkan pada media di Jepang dalam peliputan bencana, yang dianggap kurang kritis dalam meliput kecelakaan nuklir di Fukushima Daichi.

Namun, dalam peran mewacanakan mitigasi bencana dan mendorong masyarakatnya agar bangkit dari bencana, media Jepang menunjukkan kedewasaannya. Mereka mempraktikkan jurnalisme bencana tanpa darah dan air mata.[]