Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Februari 2015

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana

Bencana dan UU Penanggulangan Bencana


Oleh: A’an Efendi *)
Rabu, 18 Februari 2015 , 05:00:17 WIB - Opini    


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) telah berusia tujuh tahun lebih atau akan genap berusia delapan tahun pada 26 April 2015 mendatang. Usia yang tak lagi bisa dibilang muda tentunya. Lalu di usianya yang sudah matang itu apa yang telah dilakukan oleh UUPB untuk menanggulangi bencana di tanah air?

Seperti kita ketahui bencana tetap rutin terjadi tiap tahunnya. Bahkan di tahun 2015 ini bencana banjir bandang melanda beberapa wilayah nusantara. Di Jawa Timur, banjir menyapa wilayah Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Sampang, dan lain-lain. Di Jawa Barat, banjir telah berhasil merendam wilayah Kabupaten Bandung dan Bekasi. Di Provinsi Banten, banjir menghampiri wilayah Tangerang. Di Kalimantan Utara, banjir melanda Bulungan sementara di Sumatera banjir menerjang wilayah Lampung Selatan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya Ibukota Jakarta pun tak luput dari hantaman bencana banjir. Bahkan banjir ibukota tahun ini telah berhasil menyerbu istana negara hingga memunculkan wacana perpindahan Presiden Joko Widodo ke Istana Bogor supaya tidak mengganggu tugas-tugas kepresidenannya. Bencana tidak hanya telah merenggut harta benda manusia tetapi tidak jarang merenggut pula kehidupan manusia. Bencana telah menguras energi dan air mata anak negeri.

Kalaupun bencana terus terusan terjadi meski telah ada UUPB tidak serta merta kita bisa menyalahkan UUPB. Kita tidak bisa bilang UUPB tidak implementatif atau UUPB yang usianya hampir mencapai delapan tahun itu tidak mampu menghadang laju bencana. Tugas pokok UUPB memang bukan untuk mencegah terjadinya bencana.

Sesuai namanya tugas utama UUPB adalah menanggulangi bencana yang telah datang bukan mencegah datangnya bencana. Secara berkelakar UUPB malah sering disebut undang-undang yang "undang-undang" (baca meminta datang/mengundang) bencana dan kemudian ditanggulangi.

Supaya UUPB lebih bertaji maka dibentuk lembaga yang disebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat pusat dan tingkat daerah ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tugas pokoknya mengejawantahkan maksud dan kehendak UUPB. Tanpa BNPB-BPBD tentu saja UUPB tidak akan bisa berbuat apa-apa. Tanpa BNPB-BPBD UUPB hanyalah untaian kata-kata belaka. Hanya sekadar macan kertas.

Bencana itu sendiri dapat terjadi karena faktor alam atau ulah manusia. Bencana yang disebabkan oleh alam dikategorikan sebagai Act of God yaitu terjadi secara alami yang melebihi antisipasi dan kendali manusia seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, badai salju, dan angin topan. Hanya bencana yang disebabkan oleh alam yang dapat dikualifikasi sebagai bencana alam dan tidak meliputi bencana oleh ulah manusia. Bencana yang terjadi karena perbuatan manusia tidak termasuk bencana alam.

Pembedaan bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia berimplikasi sangat penting bagi hukum. Bencana alam yang terjadi karena proses alam atau disebut Act of God maka tidak ada pihak yang dapat dibebani tanggung jawab hukum. Tidak ada tanggung jawab hukum bagi alam. Alam tidak tidak dapat menjadi pihak tergugat di pengadilan untuk dituntut membayar ganti kerugian. Kerugian akibat bencana alam menjadi tanggung jawab negara.

Sementara itu bila bencana disebabkan oleh perbuatan manusia maka pelakunya dapat dibebani tanggung jawab hukum untuk membayar ganti kerugian, menghentikan sumber bencana, dan memulihkan dampak buruk akibat bencana itu. Tak heran tiap terjadi bencana selalu digiring menjadi bencana alam yang tujuannya jelas untuk lepas dari tanggung jawab hukum walaupun untuk itu tak segan alam harus dijadikan kambing hitam. Alam kerap dituduh sebagai biang keladi terjadinya bencana.

Kembali ke UUPB. Sesuai nama dan materi muatannya maka UUPB lebih mengedepankan tindakan penanggulangan bencana yang sudah terjadi. Yang demikian sebenarnya UUPB telah melakukan penentangan yang kasatmata tidak hanya terhadap prinsip pokok yang dianut hukum tetapi terhadap prinsip yang berlaku umum bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Prevention is better than cure. Tindakan pencegahan adalah golden rule bagi hukum.

Pencegahan selalu dipandang lebih menguntungkan dibandingkan tindakan penanggulangan, baik itu dari aspek ekologis, ekonomi, maupun sosial. Tindakan penanggulangan yang fokusnya memperbaiki dampak kerusakan pasca bencana seringkali tidak mungkin dilakukan terhadap bencana yang menimbulkan kepunahan spesies flora dan fauna, erosi, atau hilangnya nyawa sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah. Bahkan bila dampak suatu bencana dapat diperbaiki, mahalnya biaya rehabilitasi sering menjadi penghalang.

Pencegahan bencana alam dilakukan dengan mengembangkan teknologi pendeteksi bencana yang tujuannya untuk mengetahui potensi terjadinya bencana sejak dini. Jika sejak awal telah diketahui akan terjadi bencana maka dapat segera dilakukan tindakan relokasi bagi warga masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana untuk meminimalkan kerugian.

Bagi bencana yang disebabkan oleh manusia tindakan pencegahannya adalah pengawasan yang terus menerus terhadap aktivitas manusia yang punya potensi merusak lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Jika dari pengawasan itu ditemukan tindakan manusia yang merusak lingkungan maka harus segera dihentikan.

Dalam perspektif hukum, pengawasan adalah instrumen penegakan hukum yang sifatnya preventif yang tujuannya mencegah perbuatan pelanggaran sedangkan untuk menghentikan pelanggaran instrumennya adalah penjatuhan sanksi.

Sanksi meliputi sanksi administrasi untuk menghentikan perbuatan pelanggaran, sanksi pidana untuk menghukum dan membuat jera pelanggar agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan sanksi perdata untuk memberikan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan oleh si pelanggar. Jadi ada perlakuan yang berbeda karena keduanya memang tidak sama.

Revisi UUPB

Beruntung Komisi VIII DPR RI dan BNPB telah berencana merevisi UUPB. Namun patut disayangkan wacana revisi UUPB itu tidak menyentuh jantungnya UUPB. Revisi hanya menyangkut penguatan peran BNPB dan BPBD dan terutama menyangkut peran BPBD dalam melakukan kerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam penanggulangan bencana serta dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan bencana (www.antaranews.com, 21/1/2015).

Penting memang tetapi belum menyentuh yang fundamental dari UUPB. Revisi UUPB seharusnya mengubah pondasi UUPB yang semula prinsip pokoknya menanggulangi bencana menjadi mencegah bencana. Dari yang awalnya bertitik tolak pada penanggulangan menjadi fokus pada pencegahan. Dari revisi itu bahkan seharusnya dapat melahirkan UUPPB alias undang-undang pencegahan dan penanggulangan bencana.

BNPB pun harusnya berevolusi menjadi BNPPB atau Badan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana yang tugas pokok dan fungsinya adalah mencegah bencana dan baru menanggulangi bencana jika tindakan pencegahan tidak mampu menghadang datangnya bencana. Jadi yang nomor satu adalah mencegah terjadinya bencana dan yang nomor dua baru menanggulangi bencana.

Sekali lagi harus diingat ungkapan yang sangat populer "an ounce of prevention is worth a pound care". Tindakan pencegahan walaupun sedikit akan lebih baik dibandingkan tindakan yang banyak tetapi wujudnya tindakan perbaikan.| sumber: http://www.gresnews.com/berita/opini/50182-bencana-dan-uu-penanggulangan-bencana/

*) Penulis adalah mahasiswa doktoral Universitas Airlangga

Selasa, 10 Februari 2015

Jurnalisme Bencana Tanpa Air Mata

Jurnalisme Bencana Tanpa Air Mata

Oleh: Ahmad Arif
Kompas, 8 Febuari 2015

Media massa selama ini dianggap lebih kerap memotret bencana setelah terjadi dengan pendekatan ”bad news is good news”. Semakin banyak kematian, darah, dan air mata dianggap kian dramatis dan menarik diberitakan. Ke depan, media massa dituntut lebih berperan dalam pengurangan risiko bencana.

Kritik terhadap media massa di Indonesia selalu menderas dalam setiap peliputan bencana. Misalnya, dalam peliputan jatuhnya AirAsia QZ8501 baru-baru ini, media massa, utamanya televisi, banyak dihujat karena menayangkan jasad korban yang tengah dievakuasi. Media sosial dipenuhi komentar nyinyir tentang cara beberapa televisi yang dianggap menabrak etika.

Bahkan, media-media Barat yang dikenal memiliki kebebasan pers turut mengecamnya, seperti ditulis Times (30/1), ”AirAsia Relatives in Shock as Indonesian TV Airs Images of Floating Body.” Beberapa pertanyaan wartawan televisi juga dianggap terlalu mengeksploitasi perasaan korban. Wajah keluarga korban berduka diperbesar, lalu dicecar pertanyaan berulang yang menyudutkan. Sejumlah pertanyaan itu di antaranya, ”Bagaimana perasaan ibu? Ada berapa keluarga ibu di pesawat, siapa saja, tujuan mau ke mana?”

Bahkan ada wartawan yang bertanya, ”Ada nggak yang ingin ibu sampaikan pada kerabat ibu yang ada di dalam pesawat itu?”

Kritik di media sosial pun terlihat dalam peliputan bencana saat longsor melanda Banjarnegara, Jawa Tengah, awal Desember 2014. Tren peliputannya serupa, mengejar sisi dramatis, dan minim menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran demi perbaikan.

Kasus peliputan bencana yang sensasional juga terlihat dalam tayangan infotainment saat Merapi meletus pada 2010. Dengan mewawancarai paranormal, tayangan itu menyebut Yogyakarta adalah kota malapetaka dan pada 8 November 2010 akan terjadi bencana besar.

Dampaknya, korban letusan Merapi bertambah resah. Ratusan pengungsi meminta dipindahkan dari pos-pos pengungsian ke lokasi lebih jauh. Para relawan disibukkan kegiatan tambahan untuk menenangkan pengungsi yang panik.

Dengan tren pemberitaan bencana hanya berorientasi mengejar sensasi, media biasanya akan segera melupakan korban bencana begitu ”drama-nya” dianggap tak lagi laris. Media massa seolah menjelma jadi burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis korban, lalu mencari kematian lain.

Pemberitaan soal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana nyaris tak disuarakan. Padahal, dalam banyak kasus, misalnya setelah bencana Aceh, proses rekonstruksi memicu bencana baru karena ada kesenjangan, korupsi, hingga kembalinya korban ke tapak bencana yang sama sehingga rentan terdampak bencana berikutnya.

Proses rekonstruksi juga amat menentukan untuk belajar agar ke depan bisa membangun komunitas lebih tahan dan kuat menghadapi bencana berikut. Namun, itu amat jarang mendapat perhatian media massa.Tak ada media yang intens memantau kondisi korban bencana tsunami di Mentawai dan banjir Wasior tahun 2010. Dalam kasus beberapa kali kecelakaan pesawat terbang, ketika lebih fokus pada aspek dramatisasi, peliputan lebih mendalam tentang penyebab jatuhnya pesawat amat minim diungkap.

Kecenderungan media yang mengeksploitasi drama dan kesedihan itu tak hanya berlaku di Indonesia. Pada simposium tentang bencana dan media yang digelar Foreign Press Center Japan (FPCJ) di Tokyo, Jepang, pertengahan Januari 2015 lalu, Kepala Biro Tokyo Deutsche Presse-Agentur, Lars Nicolaysen, menyatakan, jika mau jujur, wartawan cenderung memberitakan bencana dengan perspektif ”bad news is good news”, kian banyak korban dan dramatis, makin menarik diberitakan.

Fenomena ini, menurut sosiolog media, John H Macmanus dalam bukunya, Market Driven Journalism (1994), karena media telah terbelenggu dorongan logika komersial semata. Aspek dramatis dianggap lebih menjual, menaikkan rating, dan pada gilirannya dianggap akan mendatangkan iklan.

Tanggung jawab media
Dalam simposium yang diikuti kalangan media, praktisi kebencanaan, dan akademisi ini, sebagian peserta berharap media massa tak hanya melaporkan tragedi. Sekretaris Jenderal PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana Margareta Wahlstrom, melalui pesan video, mengharapkan media massa aktif berkontribusi mengantisipasi, mencegah, dan mendorong perubahan kebijakan demi mewujudkan dunia lebih aman dari bencana.

Dalam simposium ini, Kaori Hayashi, mantan wartawan yang juga profesor pada Universitas Tokyo, memaparkan hasil risetnya terkait pemberitaan media televisi di sejumlah negara tentang bencana kebocoran reaktor nuklir Fukushima Daiichi setelah tsunami 2011. Media di Jepang lebih banyak mengutip sumber pemerintah dan TEPCO, perusahaan operator Fukushima Daiichi. Ia menyoroti adanya kisha club (klub wartawan) di Jepang menyebabkan pemberitaan media seragam dan kehilangan daya kritis.

Selain kritik ini, media massa di Jepang berbeda dengan kebanyakan media lain di dunia. Mereka lebih hati-hati memberitakan bencana, terutama jika terkait korban. Media massa di Jepang tak pernah menampilkan jasad korban, bahkan amat minim menampilkan wajah keluarga korban yang berduka.

Media di Jepang lebih banyak berperan memberi harapan dan semangat kepada warga untuk pulih atau bangkit dari bencana, dibandingkan mengungkapkan kehancuran atau kisah sedih. Bahkan, iklan layanan komersial pun menghilang dari televisi di Jepang hingga dua minggu setelah tsunami, digantikan iklan layanan masyarakat seperti ajakan menghormati orang tua dan membantu orang lain.

Secara terpisah, Kepala Editor Ishinomaki Shimbun, Hiroyuki Takeuchi, mengonfirmasi hal itu. ”Awalnya saya berpikir untuk menulis berita apa adanya; korban-korban demikian banyak, rumah-rumah hancur. Namun, kalau saya hanya menulis begitu, kota ini akan mati. Korban kian terpukul. Maka, kami pilih membuat tulisan yang memberi harapan. Ini bagian tanggung jawab kami,” katanya.

Ishinomaki Shimbun, koran lokal di Kota Ishinomaki, kantornya terlanda tsunami sehingga merusak mesin cetaknya. Mereka terpaksa menerbitkan koran dengan ditulis tangan selama sepekan. Saat terbit pada hari kedua setelah tsunami (edisi 13 Maret 2011), mereka memilih judul headline ”Listrik Telah Dipulihkan”. Isi beritanya tentang bantuan yang datang dari berbagai pihak dan pengungsi diminta tak perlu khawatir. Selain itu diinformasikan rencana listrik akan pulih di 13 kecamatan, dan sekolah libur tanggal 18. ”Korban sudah banyak menderita, kami perlu memberikan berita yang memberi harapan,” kata Takeuchi.

Kanai Mitsuyoshi, fotografer senior dari Kobe Shimbun menyatakan, ”Gambar orang menangis atau mayat akan dianggap teror bagi publik di Jepang, karena itu dihindari wartawan.”

Kanai meliput gempa Kobe pada 1995. ”Saya memotret orang meninggal, itu tak pernah kami tampilkan di koran. Kami memilih gambar dan kisah yang memberi semangat.”

Hingga kini, tak ada aturan hukum melarang itu. Namun, itu lebih ke kontrol diri di kalangan media di Jepang. Kritik banyak dialamatkan pada media di Jepang dalam peliputan bencana, yang dianggap kurang kritis dalam meliput kecelakaan nuklir di Fukushima Daichi.

Namun, dalam peran mewacanakan mitigasi bencana dan mendorong masyarakatnya agar bangkit dari bencana, media Jepang menunjukkan kedewasaannya. Mereka mempraktikkan jurnalisme bencana tanpa darah dan air mata.[]

Rabu, 31 Desember 2014

Aceh yang Asing dan Jauh

Aceh yang Asing dan Jauh

Oleh Reza Idria

SETIAP 26 Desember, kita yang memberi perhatian pada peristiwa gempa dan tsunami 2004 yang melanda Aceh dan beberapa kawasan lain di Asia Tenggara kembali berbagi ingatan tentang skala gempa, tinggi gelombang laut dan kematian yang masif setelahnya. Bagi yang selamat dari hambalang tsunami, sisa dari kiamat yang urung hari Minggu itu adalah lolong angin laut dari sela bangunan yang rubuh, genangan tsunami, gempa-gempa susulan, deru helikopter penghantar logistik bantuan, ambulan yang mengangkut tubuh luka patah dan deru truk-truk yang mengangkut jenazah ke kuburan massal. Dunia tersentak dan turun tangan dalam hajatan kematian terbesar di dekade pertama millennium ini. Tsunami 2004 ditasbihkan sebagai bencana internasional.

Nun di balik status internasional yang disematkan kepada satu bencana, “skala derita” dan derajat kehilangan adalah hal yang juga personal. Setiap orang Aceh yang menyandang status sebagai keluarga, sanak, teman atau lawan dari 220 ribu jiwa lebih yang tewas akibat bencana tsunami juga menyimpan kenangan dan nyeri yang tak terbagi, apa yang diistilahkan oleh antropolog James Siegel sebagai “the singularity of each loss”. Hal ini memungkinkan saya untuk tidak mewakili siapapun ketika berbagi ingatan, begitu juga ketika menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi di Aceh satu dekade setelahnya.

Sepuluh tahun adalah waktu yang panjang dan mustahil bagi risalah singkat ini untuk memberi detail tentang kondisi Aceh setelah bencana 2004. Selain itu, tsunami telah menjadi bandul waktu baru bagi orang Aceh, untuk menandai apa yang terjadi sebelum dan sesudah tsunami, sehingga secara otomatis penyebutannya menjadi semacam pendulum yang selalu mengayun ke dua arah. Status Aceh yang berada di bawah kendali operasi militer ketika tsunami menerjang harus saya sebutkan di awal untuk menjelaskan bagaimana terisolirnya kawasan ini dari dunia luar sehingga apa-apa yang mengejutkan sekarang terjadi di provinsi tersebut dapat memperoleh rute nalarnya. Itulah masa yang dalam bahasa Albert Camus dinyatakan sebagai “hari-hari dimana kebebasan sedang tak punya banyak sekutu,” dimana semua orang Aceh saat itu sedang bekerja keras untuk membebaskan tubuh mereka dari kehancuran dan kebinasaan yang sia-sia. Singkatnya, tsunami 2004 adalah akumulasi dari kebinasaan yang sebelumnya bersifat sporadik di tengah-tengah perseteruan GAM dan TNI.

****
TSUNAMI, satu kata asing yang datang dari jauh (setidaknya kita kenal berasal dari Bahasa Jepang), turut membawa segala hal yang jauh dan yang asing kembali tumpah ruah ke Aceh. “Yang jauh” dan “yang asing“ adalah dua hal yang saya kira memainkan peran krusial dalam membentuk identitas budaya Aceh dari masa ke masa, dimana respon orang Aceh terhadap kedua hal tersebut menjadi tolok ukur pasang surut dinamika politik, sosial dan agama di kawasan ini. Namun, tsunami dan satu dekade setelahnya memberi kita satu sketsa baru rindu dendam Aceh terhadap yang asing dan yang jauh.

Catatan-catatan yang datang dari abad ke 17 hingga akhir abad ke 19 menjelaskan bahwa telah beratus-ratus tahun manusia dari segala penjuru dunia datang dan bermukim di Aceh. Bukan hanya singgah, para peniaga, diplomat, perompak, dan pemuka agama lintas negara telah menjadikan Aceh sebagai alamat tinggal mereka, membangun apa yang kemudian dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kekuatan persenjataan kesultanan Aceh pada abad-abad itu selalu ditopang kiriman dari jauh, demikian juga pemuka agama yang digugu senantiasa tokoh dari luar. Tsunami 2004 seperti undangan reuni bagi yang asing dan yang jauh kembali berlabuh di bandar ini.

Perdamaian Aceh yang disepakati pada 15 Agustus 2005, dengan perantara pihak asing dan ditandangani di tempat yang jauh, nun di Helsinki sana, menjadi konsekuensi paling penting mengakhiri dekade-dekade penderitaan yang dialami masyarakat Aceh sebelum tsunami. Perdamaian Aceh juga memungkinkan para pelarian politik Aceh yang sebelum tsunami bergiat di tempat jauh dan terasing untuk kembali pulang. Dengan tercapainya kesepakatan damai, pembangunan Aceh yang lebih baik dapat dicanangkan dan berlangsung tanpa hambatan keamanan.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) yang menjadi lembaga resmi pemerintah Indonesia melancarkan program ambisius dalam proyek pembangunan kembali Aceh yang mencakup bidang infrastruktur dan suprastruktur, yang material dan immaterial, membentuk kedeputian yang mengurus perumahan hingga kedeputian yang mengurus budaya dan agama. Dengan dana rekonstruksi yang nyaris tidak terbatas, lembaga ini mau mendanai pembangunan stadion sepakbola hingga lomba memasak. Hasilnya, triliunan bantuan dari seluruh penjuru dunia beserta dengan pekerja kemanusiaan yang datang bersamanya, memang banyak mengubah fisik Aceh yang sebelumnya luluh lantak akibat tsunami dan perang.

*****
SEPULUH tahun mungkin kurun waktu yang panjang untuk mendirikan bangunan, namun rentang yang pendek bagi tumbuh dan stabilnya satu gagasan bajik tentang pembangunan. Juga terlalu premature untuk melahirkan kepercayaan. Satu contoh, banyak warga Banda Aceh yang menolak naik ke gedung evakuasi tsunami ketika gempa tahun 2012 karena tidak percaya pada kualitas bangunan BRR.

Di atas segalanya, persinggungan setelah tsunami antara masyarakat yang baru terlepas dari belenggu konflik dengan kehadiran “yang asing” dan “yang jauh” adalah pertemuan yang canggung. Satu krisis kepercayaan diri dari masyarakat yang mayoritas hanya mampu menonton, yang mungkin tidak diantisipasi oleh para pekerja kemanusiaan yang datang ke Aceh dari berbagai belahan bumi lain dan harus bekerja dengan skema yang tidak terjangkau oleh penontonnya. Krisis yang perlahan menggeser pandangan, dari harapan ke ancaman.

Bagaimanapun, ini tidak pernah menjadi masalah besar sampai politik membajak krisis tersebut untuk kepentingan kuasa.

Maka hari-hari terakhir ini, satu dekade setelah tsunami, ketika kata dan definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat sebelumnya bisa kita lihat sebagai satu upaya membangun kembali identitas yang lama remuk digebuk negara dan kuyup ditenggelamkan bencana, namun menyajikan satu kondisi krisis yang kompleks. Krisis inilah yang melahirkan tuntutan terus menerus agar Aceh harus dipandang dan diperlakukan berbeda, ironinya membutuhkan pengakuan dari yang luar. Politik kemudian membalikkan istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh Aceh yang cedera dimangsa kejahatan perang dan bencana alam, mengubahnya menjadi tuntutan “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “syariat” dalam makna yang sempit.

Saya memberi penekanan pada politik untuk memilah apa yang mengemuka dalam satu dekade setelah bencana di Aceh. Seperti kenangan dan nyeri akibat tsunami yang personal, apa yang bisa diberitakan dari apa yang orang Aceh pelajari setelah bencana selalu redup akibat tindakan politik atas nama identitas dan agama dalam satu dekade terakhir. Padahal tidak sedikit orang Aceh yang masih ingat bahwa dalam suasana berkabung pasca perang dan bencana tsunami, tubuh Aceh pernah dipapah oleh penduduk dunia yang datang dari seluruh penjuru. Dalam sepuluh tahun terakhir, 26 Desember setidaknya selalu menjadi hari dimana sejumlah orang menggubah syair, tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan tentang iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya. Juga tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita |

sumber: Majalah Tempo, 22-28 Des: edisi khusus 10 Tahun Tsunami Aceh. 

*Reza Idria, Departemen Antropologi, Universitas Harvard, Amerika Serikat Dosen UIN Ar Raniry

Senin, 29 Desember 2014

Mengenangkan Gelombang Raya 10 Tahun Silam

Mengenangkan Gelombang Raya 10 Tahun Silam

Catatan Kaki Jodhi Yudono
Gempa itu, gelombang laut besar itu, menenggelamkan negeri di ujung barat republik ini hingga rata dengan tanah, sepuluh tahun lalu. Ribuan orang yang mati, sementara yang hidup sebagian cacat, sebagian lainnya hidup dalam kehampaan lantaran ditinggal orang-orang tercinta, sebagian lainnya tak terdengar kabar beritanya oleh amukan gelombang yang garang.
Pagi itu, warga Aceh baru saja membuka hari. Matahari dengan sinarnya yang indah juga baru saja menggeliat. Seperti galibnya hari minggu, sebagian orang masih bermalas-malasan di ranjang atau di teras rumah sambil mereguk kopi dan penganan kecil. Tapi sebagian lainnya sudah bergegas menjalankan roda kehidupan sesuai profesinya masing-masing. Para nelayan pergi melaut, ibu-ibu sibuk di dapur, anak-anak sekolah tentu saja menikmati hari libur, sebagian pemuda berolahraga, sebagian lainnya pergi ke pantai untuk berwisata, para buruh pergi ke pabrik, pasar sudah hiruk pikuk. Sementara di angkasa, burung-burung baru saja meninggalkan sarangnya.
Saat semua orang sedang menjalani kebiasaan hidupnya itulah, mendadak, pada pukul 07.58 WIB, Minggu 26 desember 2004, Aceh bergetar hebat. Penduduk Aceh yang gemetar, seperti diayak ke kanan dan kiri, ke belakang dan ke depan, serta ke atas dan ke bawah yang berlangsung puluhan menit. Berayun-ayun terus menerus. Orang-orang pun bergegas keluar rumah. Mereka berkumpul di jalan-jalan dan tanah-tanah lapang. kepala mereka yang pusing sehingga banyak yang terjerembab ke tanah atau aspal.
Dalam kepanikan itulah, semua orang seperti diingatkan untuk menyeru Sang Pencipta. suara azan berkumandang dari menara-menara masjid dan meunasah. Zikir dilambungkan ke angkasa oleh jutaan manusia yang memohon pertolongan dan perlindungan dariNya.
Setelah gempa reda, sebagian orang melihat situasi. Mereka berjalan melihat bangunan yang rubuh, tanah terbelah, dan rumah yang tertelan bumi. Tidak ada tada-tanda alam bakal murka untuk yang kedua. Tidak ada yang menduga sebentar lagi akan datang bencana dahsyat yang akan melumpuhkan banda aceh. Juga tak ada yang memahami pertanda alam, manakala air laut surut berartus-ratus meter jauhnya, orang-orang di pantai justru asyik mengumpulkan ikan yang mengelapar, bahkan air sungai pun mengering. Mereka tidak seperti orang Simelueu yang akan segera berlari ke tempat-tempat yang tinggi jika pertanda alam seperti ini terjadi. Orang-orang di pantai Aceh itu tak bisa membaca pertanda bahwa bencana akan segera tiba, bahkan mereka seperti melupakan gempa yang barus saja terjadi.
Di berbagai tempat, orang-orang memperbincangkan gempa dahsyat yang baru saja terjadi yang belum pernah mereka alami. Ketika mereka sedang saling bercerita itulah, tiba-tiba terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dan disertai gemuruh dari arah laut. Dentuman itu susul menyusul, dentuman itu terdengar di sepanjang pesisir Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat dan Nagan Raya.
Orang-orang semula mengira itu adalah bunyi bom. Maklumlah, sebelum peristiwa ini terjadi, orang Aceh sudah terbiasa dengan bunyi bom yang meledak sepanjang konflik berlangsung di bumi Serambi Aceh. Orang-orang pun bertanya, mengapa masih saja ada sekelompok orang yang tega berperang pada situasi bencana yang membuat nestapa?
Orang-orang mengira, pagi itu hanya sekedar gempa biasa, mereka tidak mengira penyebab dentuman itu berasal dari patahan lempeng bumi yang berpusat di Samudera Indonesia, sekitar 149 km sebelah selatan Calang Aceh Jaya.
Belum sempat mereka bernapas lega akibat gempa, dalam suasana kacau balau, mendadak mereka diterjang air hitam yang datang tiba-tiba disertai suara gemuruh mengerikan yang bergerak cepat dan menerjang apa saja yang dilaluinya. Gelombang raya itu bagai bukit yang berjalan, sebab di tenapat-tempat tertentu gelombang air mencapai 18 meter, bahkan ada yang 35 meter seperti yang terjadi di pantai Lhok Nga.
Air bah warna hitam itu juga bagai naga beringas yang mencari mangsa. Air dengan kecepatan ratusan km/jam itu bagai buldozer yang merubuhkan semua yang dilewatinya. Rumah, mobil, kayu, tembok, semua terbawa oleh air bah yang bernama smong dalam istilah masyarakat Simeleuh atau tsunami dalam bahasa Jepang.
Kapal apung PLN yang bersandar di Uleleu Banda Aeh digelandang gelombang sampai 3 km ke darat. Sekarang kapal itu menjadi salah satu obyek wisata tsunami. Demikian juga kapal-kapal besar milik nelayan, dibawa tsunami ke jalan-jalan raya, termasuk mesin cetak milik Koran Serambi Indonesia yang hanyut hinga 1 km. Rumah, toko, hotel, rata dengan tanah.

Setelah 15 menit, aceh pun lengang dan senyap. sebagian besar permukiman rata dengan tanah, ratusan ribu orang tewas, sementara yang masih hidup nelangsa berkepanjangan seraya meratapi nasibnya yang penuh duka. Detak kehidupan seperti berhenti mati pada hari itu.
Ya, ya... Gelombang itu juga tak cuma melumpuhkan kaki dan anggota badan lainnya, tapi juga mental semua orang Aceh.
Gelombang raya itu benar-benar telah meluluhlantakan Banda Aceh. Mayat-mayat manusia berserakan di mana-mana, juga bangkai mobil, motor, pohon dan binatang, tergeletak di sembarang tempat. Gempa dan gelombang telah mematikan Aceh dalam arti sebenarnya.
Bahkan mereka yang semula bersitegang menggunakan senjata dan kata-kata, langsung diam seribu bahasa.
Hari itu semesta telah membuktikan kebengisannya, melebihi kebengisan yang bisa diperbuat oleh manusia di bumi Aceh. Ribuan manusia tewas dalam hitungan detik.
Begitulah cara alam bekerja dan bertindak. Maka di balik itu semua, selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Barangkali sudah saatnya, Serambi Mekah itu dibersihkan dari iri dan dengki serta permusuhan. Barangkali sudah saatnya Serambi Mekah itu menjadi negeri indah tempat para muslim beribadah dan bekerja.
Negeri Aceh seperti hendak membuka lembaran hidup yang baru. Gelombang Raya itu menjadi penanda berakhirnya rasa takut warga yang hendak bepergian di negerinya sendiri.
Maka kini, setelah sepuluh tahun tsunami lewat, saya tak cemas ketika melintas dari Takengon menuju Medan melalui jalan darat. Begitu juga saat menyusuri Bireun hingga Lhokseumawe, saya dan kawan-kawan seperjalanan bisa bersendagurau sepanjang perjalanan. Tidak seperti sebelum tsunami datang. Seorang kawan yang hendak pergi ke Medan dari rumahnya di Takengon, harus menahan ketegangan sepanjang perjalanan.
Sykurlah, kini Aceh sudah aman. Mereka yang bersengketa tak harus mengangkat senjata untuk menegaskan pendapatnya. Semoga bencana itu menjadikan kita menjadi kian bijaksana, menjadikan kita tambah giat beribadah dan juga bekerja. | KOMPAS, Jumat 26 Desember 2014
@JodhiY

Minggu, 28 Desember 2014

Tsunami, 10 Tahun Kemudian

Oleh Azhari Aiyub 

Saya tidak berada di Aceh ketika 10 tahun lalu tsunami menghancurkan Aceh. Untuk menggambarkan bencana tersebut, kata “kehancuran” akan sering saya pakai dalam tulisan ini karena saya tidak punya kata-kata lain untuk menggantikannya.

Saya tiba di Aceh dua hari kemudian, pada hari itu juga saya terlempar ke dalam sebuah pusaran kekacauan yang, berdasarkan pengalaman pribadi saya, masih belum berakhir hingga sekarang. Seperti kebanyakan orang lain, bencana ini telah merampas hal yang teramat berharga dalam kehidupan kami.

Beberapa waktu yang lalu, saya ditanya oleh seorang wartawan asing: bagaimana kamu berdamai dengan kehilangan ini?--tentunya bukan pertanyaan pertama dan terakhir. Saya jawab, belum bisa. Setidaknya momentum 10 tahun tidak cukup berguna dalam kasus ini.

Saat menulis kolom ini, saya mempertimbangkan berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memulainya dengan hal yang sangat personal, terutama untuk melihat apa pentingnya bencana yang paling mengerikan dalam sejarah modern umat manusia ini dikenang dan diperingati. Setiap tahun, saya tidak pernah mau memperingati kejadian ini. Karena, menurut saya, memang tidak ada sisi yang menyenangkan dari kejadian ini yang pantas untuk diperingati.

Peringatan untuk kejadian ini menjadi sesuatu yang sangat pribadi, sulit untuk dibagi kepada orang lain, walaupun saya ingin sekali melakukannya dan orang lain mungkin sangat ingin berempati. Tidak ada yang dapat menduga perasaan siapa pun pada momen-momen seperti ini. Kesedihan telah menjadi gaib.

Pemerintah sendiri memperingati bencana ini setiap tahun. Tahun pertama dan kedua masih terasa sederhana dan khidmat, mungkin karena latar untuk itu masih alami, masih ada puing-puing bekas tsunami yang menakutkan serta tengkorak para korban masih ditemukan di antara reruntuhan.

Tapi, setelah rumah-rumah berdiri dan jalan-jalan diperbaiki, dari tahun ke tahun saya melihat tujuan dari seremoni peringatan kian kehilangan sisi untuk menghormati perasaan berduka para korban. Peringatan tsunami dalam dua tahun terakhir semakin terlihat untuk mempromosikan industri pariwisata. Mengundang orang-orang untuk terlibat dalam dukacita, dalam kehancuran, yang mungkin tidak pernah bisa mereka rasakan walaupun mereka telah berusaha mencobanya.

Pemerintah setiap tahun selalu berpesan kepada para korban agar jangan terjebak dalam ingatan yang buruk dan dapat mengambil hikmah atas apa yang telah terjadi. Lalu, dalam dua tahun terakhir ini juga, pemerintah berusaha menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam upayanya mengatasi kehancuran tersebut. Pemerintah selalu punya harapan bahwa pencapaian dapat menggantikan apa-apa yang telah hilang di masa lalu.

Setelah tsunami menghancurkan Aceh 10 tahun lalu, sekilas wajah Aceh memang berubah. Tidak ada lagi puing-puing berserakan sebagaimana pemandangan yang umum terlihat pada tiga tahun pertama bencana. Orang-orang yang datang ke Aceh setelah bencana itu dan tidak sempat melihat betapa dahsyatnya kehancuran sering gagal saat mencari jejak-jejak kehancuran. Setelah 10 tahun, seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa di Aceh.

Menjelang peringatan 10 tahun tsunami, di media sosial beredar foto-foto yang mencoba membandingkan keadaan sebelum dan sesudah tsunami. Foto-foto perbandingan itu akan membuat siapa pun takjub karena, sepuluh tahun lalu, perasaan putus asa membuat siapa pun tidak dapat diyakinkan bahwa kehancuran dapat dengan mudah diatasi.

Saya tidak yakin Aceh patut merayakan pencapaian atas keberhasilan yang dilalui setelah 10 tahun tsunami. Makna “berhasil” tentu mempunyai beragam perspektif. Salah satunya adalah perspektif para korban yang selama bertahun-tahun diasingkan dalam proses pemulihan tersebut, terutama cerita-cerita tidak menyenangkan para korban saat berhubungan dengan pemerintah dan donor selama berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Setelah 10 tahun berlalu, di luar bingkai foto-foto perbandingan itu, sulit untuk menemukan satu contoh saja apa yang telah berubah secara mendasar di Aceh dan perubahan ini punya pengaruh jangka panjang. Setiap berbicara tentang bencana besar dan apa yang telah berubah setelah hari itu, gempa tahun 1755 di Lisbon biasa dijadikan perbandingan. Gempa di Lisbon telah menghancurkan bukan saja Ibu Kota Portugal, yang waktu itu merupakan salah satu kota terkaya di Eropa akibat perdagangan budak dan rempah-rempah, tetapi juga telah menggoyangkan kepercayaan dan sendi-sendi sosial masyarakat.

Pertanyaan apakah Tuhan terlibat dalam bencana itu dan apakah bencana itu azab yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka yang berdosa dan di mana posisi mereka yang tidak berdosa dalam azab tersebut bersaing dengan pertanyaan apakah azab ini dapat dihindari apabila ikatan batu rumah kita cukup kuat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini diyakini menjadi salah satu babak yang cukup penting dalam mengubah wajah Eropa secara mendasar, baik secara budaya, politik, sains, dan filosofi menjadi satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari peristiwa lain yang mendahuluinya atau yang terjadi kemudian. Dari sudut pandang itu, bencana yang satu memang dipercaya menciptakan bencana yang lain dan kadang kala lebih mengerikan seperti Perang Dunia I dan II, tapi sekaligus menyempurnakan upaya-upaya untuk menanggulangi kerusakannya.

“Apa lagi? Kita kubur orang mati dan kita beri makan mereka yang hidup,” demikian kalimat terkenal yang diucap oleh Marquis of Pombal, patriark Kota Lisbon saat itu. Di Aceh, ekskavator-ekskavator memang telah menguburkan orang-orang yang mati dalam bencana tsunami. Tapi sulit untuk menjawab bahwa orang-orang yang selamat dari bencana itu telah diberikan kehidupan yang layak, makan yang layak.

Banyak orang menyebutkan bahwa tsunami 2004 telah menciptakan perdamaian di Aceh serta mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 30 tahun. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Kalau tsunami 2004 yang telah merenggut 130.000 jiwa dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk terciptanya keadaan tersebut, perdamaian harusnya menjadi peristiwa lain yang tidak kalah penting untuk memulihkan apa yang telah hancur selama perang dan kesempatan bagi orang-orang yang teraniaya selama konflik untuk mendapatkan keadilan.

Hadiah Nobel yang diterima Presiden Martti Ahtisaari karena perannya dalam perdamaian di Aceh harusnya punya tujuan ganda, bukan hanya untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak di masa mendatang, sekaligus memberi kepastian terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. | Majalah DETIK, Edisi 160 - 22-28 Desember 2014

*) Azhari Aiyub, Direktur Komunitas Tikar Pandan, Pendiri Sekolah Do Karim dan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia-Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Sabtu, 27 Desember 2014

Belajar dari Memori Aceh

Belajar dari Memori Aceh


SEMULA adalah guncangan gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala Richter, permukaan laut yang surut, lalu datanglah gelombang laut mahadahsyat.
Itulah ringkasan ingatan atas apa yang terjadi di Aceh tepat 10 tahun silam. Mungkin tiada ungkapan yang bisa melukiskan peristiwa alam yang menjadi petaka tak terperi dalam sejarah bencana alam modern.

Dengan menundukkan kepala, kita kenang kembali korban yang jatuh—lebih dari 200.000 jiwa di 21 negara sepanjang Samudra Hindia, sebagian besar di antara mereka (160.000 jiwa) adalah warga Aceh.

Kita kenang pula jasa sukarelawan dari berbagai penjuru dunia yang membantu meringankan derita saat itu. Bencana Aceh 26 Desember 2004 membuktikan secara kuat solidaritas kemanusiaan yang jarang ada bandingannya.

Ada dua hal yang dapat kita refleksikan saat mengenang bencana Aceh. Pertama tentang kesadaran ilmu pengetahuan akan gempa dan tsunami, yang kedua tentang bagaimana menyikapi ancaman bencana.

Tentang kesadaran akan ilmu alam yang terkait dengan bencana, petaka di Aceh telah membuka mata kita tentang hidup di alam bencana, yang ditandai dengan bertemunya tiga lempeng tektonik besar di dunia, dan Cincin Api.

Kita sudah sering mengalami tsunami, tetapi baru bencana Aceh yang benar-benar membangunkan kesadaran akan potensi bencana, dan masyarakat menjadi familier dengan tsunami dan gempa tektonik, juga wedhus gembel (aliran piroklastik) saat gunung berapi erupsi.

Kesadaran ini selayaknyalah menjadi momentum untuk mengenal daulat alam dengan fenomenanya yang dahsyat—oleh Ellen J Prager dijadikan judul buku Furious Earth. Hal itu juga membangkitkan minat anak muda Indonesia mempelajari ilmu kealaman, seperti geologi, seismologi, vulkanologi, dan juga meteorologi (dalam kaitannya untuk merespons pemanasan global).

Untuk refleksi kedua, setelah menyadari hidup di kawasan Cincin Api, mau tak mau kesadaran yang muncul tersebut harus ditransformasikan menjadi aksi investasi untuk menghadapi bencana.

Di masa lalu, wacana baru sebatas pembangunan rumah tahan gempa. Setelah gempa Aceh, dipikirkan bagaimana mengatur tata ruang, agar saat bencana datang, warga berada di zona aman. Memang agak ironis, pembangunan kembali Aceh dinilai gagal memanfaatkan momentum. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi tak bisa merealisasikan cetak biru mengosongkan kawasan 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai.

National Geographic juga menyebutkan, di Indonesia warga secara kultural ingin hidup berdamai dengan gunnung api. Muncul pertanyaan, sinkronkah ini dengan cita-cita kita untuk menjadi masyarakat modern berbasis pengetahuan?

Mari terus kita hidupkan memori tsunami Aceh untuk menguatkan kesadaran kita pada alam dan siaga menghadapi fenomenanya.| TAJUK RENCANA  Harian KOMPAS, 26 Desember 2014