Tampilkan postingan dengan label Gempa Dan Tsunami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gempa Dan Tsunami. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Januari 2017

Butuh Peta Zona Rawan Bencana

Butuh Peta Zona Rawan Bencana

sumber: harian serambi indonesia / senin 26 desember 2016

AHLI gempa dari Unsyiah, Nazli Ismail PhD berharap Pemerintah Aceh segera membuat peta zona rawan bencana sebagai panduan bagi masyarakat dalam berinvestasi maupun mendirikan tempat tinggalnya. Untuk itu, kata dia, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan akademisi khususnya ahli Ilmu Kebumian yang telah meneliti secara terus menerus bencana yang terjadi di Aceh.

“Selama ini belum ada peta zona rawan bencana sebagai panduan untuk masyarakat. Bahkan dalam membangun gedung dan infrastruktur lainnya, pemerintah masih mengenyampingkan hal itu,” ujar Nazli yang ditemui Serambi, Rabu (14/12) di Gedung Hyogo Prefecture Unsyiah, Banda Aceh.

Menurut Nazli, selain membuat peta zona rawan bencana, pemerintah juga harus memperketat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta membuat building code. “Coba perhatikan berapa banyak bangunan tinggi milik pribadi yang ada di Banda Aceh. Jika terjadi gempa, ini bukan lagi menjadi tanggung jawab pribadi,” katanya.

Dijelaskan, sebagian besar wilayah Aceh memiliki tanah alluvium (tanah liat yang menampung air) yang labil terhadap guncangan. Ditambah lagi letak Patahan Sumatera yang melewati hampir seluruh wilayah Aceh, menjadi ancaman serius bagi masyarakat saat terjadi gempa.

Nazli mengatakan, Patahan Sumatera secara umum terbagi atas dua segmen, yaitu Segmen Seulimuem yang melewati Gempang-Krueng Raya-Pulau Weh, serta Segmen Aceh yang dimulai dari Gempang-Banda Aceh–Lhoknga-Pulo Aceh-Andaman. “Selain dua itu, juga ada Patahan Batee, Samalanga, Lhokseumawe, dan Gayo Lues,” sebutnya.

Hingga kini, lanjut Nazli, berdasarkan penelitian para ahli, dua segmen/patahan yang paling aktif adalah Seulimuem dan Samalanga. Yang menyedihkan lagi, kata dia, di sepanjang dua segmen aktif tersebut terdapat banyak bangunan besar, pusat pemerintahan, sekolah, jembatan, hingga permukiman penduduk.

“Saya teringat gempa Bener Meriah, Tangse, Pidie Jaya, semuanya gempa darat yang berdekatan dengan Patahan Samalanga. Saya menduga ada patahan lain di sekitar itu yang belum teridentifikasi,” kata Nazli.

Terkait gempa 6,4 SR yang mengguncang Pidie Jaya pada 7 Desember lalu, Nazli Ismail menilai skala tersebut terbilang kecil untuk sebuah gempa darat. Namun karena lokasinya berada di pemukiman padat penduduk, ditambah kualitas bangunan yang buruk, sehingga menimbulkan dampak yang cukup parah.

Dia mengatakan, ujung Utara Sumatera (Aceh) sudah tidak mengalami gempa besar dalam kurun waktu 170 tahun. Sedangkan di ujung Selatan Sumatera yaitu Lampung, Liwa, Bengkulu, Jambi, dan Padang mengalami gempa besar dalam waktu yang berdekatan.

“Hal ini menimbulkan dua makna. Pertama, Patahan Sumatera menyimpan energi dan mengeluarkannya kecil-kecil. Kedua, gempa Pijay sebagai pertanda awal dari gempa yang lebih besar, kita harap tidak demikian,” ujar Nazli, seraya mengutip perhitungan para ahli gempa yang menyatakan, suatu wilayah yang dilalui patahan akan berpotensi mengalami gempa setelah 170 tahun lebih.


Pada bagian lain, Nazli Ismail juga mengungkapkan dirinya sedang meneliti tentang adanya kaitan antara tsunami besar dan hilangnya peradaban Aceh. Berdasarkan catatan sejarah, katanya, gempa dan tsunami di Aceh terjadi berulang kali dan mengakibatkan musnahnya suatu peradaban.

Dicontohkan, tsunami di Lamreh, Aceh Besar memusnahkan kerajaan besar bernama Lamuri di sana. “Tak hanya Lamuri, kerajaan besar Aceh lainnya yaitu Samudera Pasai, Aceh Darussalam, juga hilang setelah tsunami,” ujarnya, seraya menyebut tsunami tahun 2004 juga menyebabkan hilangnya masa konflik di Aceh.

Ditambahkan, penelitian itu diperkuat lagi dengan temuan tanah di Aceh Besar yang menunjukkan adanya gempa yang terjadi berulang kali pada masa lalu. “Aceh dari zaman dulu memiliki catatan gempa besar dan tsunami. Seharusnya kita belajar dari pengalaman ini,” jelasnya.

Selain itu, Nazli Ismail juga mengomentari kebijakan Pemerintah Aceh yang terkesan ‘ngotot’ membangun sentra pariwisata di wilayah rawan bencana. Dia mencontohkan Sabang, yang merupakan wilayah yang dilalui Segmen Seulimeum. “Hari ini pemerintah menjadikan Pulau Weh sebagai kawasan ekonomi terpadu, pusat pariwisata, bahkan ada wacana tol laut. Kenapa sulit terealisasi?,” ujar Nazli.

Menurutnya, para investor luar sangat teliti dalam melakukan investasi. Mereka hanya akan berinvestasi di wilayah yang jelas record-nya. “Di bawah Sabang ada Patahan Seulimuem, juga ada gunung api di sana. Ini sebenarnya jadi jawaban bagi kita kenapa daerah ini sulit berkembang,” katanya, seraya menyebut pihak yang mewacanakan itu adalah orang yang tidak mengetahui potensi ancaman di Sabang.

Dia juga mencontohkan Redelong. Kota Bener Meriah itu dibangun persis di bawah gunung api aktif Burni Telong. “Pusat pemerintahan, perkantoran, permukiman penduduk, semuanya dibangun di kaki gunung api. Ancaman besar ini seharusnya dipahami pemerintah,” tandasnya.

Oleh karena itu, kata Nazli, pengetahuan kebencanaan seharusnya merasuk ke dalam pikiran masyarakat, sehingga setiap perilaku dan tindakannya selalu siaga bencana. “Ingat, bencana di Aceh bukan cuma tsunami, sebab kemungkinan terjadi ratusan tahun lagi. Yang selalu terjadi adalah gempa bumi, banjir, longsor, dan kebakaran,” kata Nazli.

Dia juga berharap Pemerintah Aceh dapat menangani bencana secara serius yaitu dimulai dengan pencegahan. “Pembangunan jangan hanya selalu diartikan secara fisik. Sebab, membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana itu jauh lebih penting,” ujar Nazli seraya menyebut Unsyiah dengan sejumlah ahli Ilmu Kebumiaan siap membantu Pemerintah Aceh dalam merealisasikan hal itu.(fit)

Sabtu, 09 April 2016

Berjejaring Selamatkan Hidup

Berjejaring Selamatkan Hidup



Oleh Ahmad Arif
Harian KOMPAS / 8 April 2016

Media massa berada pada posisi antara, berdiri antara kepentingan publik dan kepentingannya. Peliputan bencana ujian paling nyata. Media akan dihadapkan pada tuntutan memberikan informasi mencerahkan yang mendorong pengurangan risiko bencana atau memilih melaporkan sebagai komoditas belaka dengan aspek utama dramatisasi tragedi. 


Pengunjung pada Disaster Reduction and Human Renovation Institution di Kobe, Jepang, memperhatikan barang-barang milik penyintas dan pesan-pesan yang mereka tulis terkait gempa yang melanda kota itu 21 tahun silam, Minggu (28/2). Selain pendidikan kebencanaan di sekolah ataupun museum-museum, peran media yang terus mengingatkan tentang mitigasi bencana juga menjadi kunci penting kesuksesan Jepang membudayakan kesiapsiagaan menghadapi bencana. | KOMPAS/Ahmad Arif


Di Indonesia, tren peliputan bencana cenderung mengejar sisi dramatis. Peliputan bencana identik dengan darah, mayat, dan air mata, sebagaimana ditampilkan dalam peliputan tsunami Aceh 2004 hingga jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 pada 2015 atau sederet kejadian bencana lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan reporter saat peliputan jatuhnya pesawat bertendensi memainkan emosi keluarga korban yang dilanda kecemasan. Begitu mayat korban ditemukan, ada televisi yang memajang gambarnya secara vulgar.

Potret buruk media yang mengumbar mayat korban jatuhnya AirAsia mengundang kecaman media internasional, seperti ditulis Times (30/1/2015), "AirAsia Relatives in Shock as Indonesian TV Airs Images of Floating Body."

Masalahnya, dramatisasi tayangan itu dilakukan sadar, seperti disampaikan produser televisi swasta di Jakarta, "Kami butuh gambar dan suasana yang dramatis untuk menarik pemirsa. Masyarakat Indonesia itu menyukai kisah-kisah melodrama. Bagi kami, rating adalah segalanya. Lagi pula, ini dibutuhkan untuk menarik empati bagi masyarakat untuk menyumbang korban bencana."

Dalam perspektif ekonomi politik, konstruksi berita di media massa jelas tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bisnis. Rating dalam media televisi atau hits bagi media daring dan tingkat keterbacaan bagi media cetak menjadi panglima dalam liputan media. Itulah kontradiksi media karena publik juga menuntut adanya tanggung jawab sosial dari media.

Praktik peliputan bencana yang lebih menekankan aspek dramatisasi tragedi itu memang tidak khas dilakukan media di Indonesia. "Tidak ada media di Turki yang fokus pada liputan tentang mitigasi bencana. Mereka meliput bencana setelah kejadian," kata Gulum Tanircan, Koordinator Disaster Preparedness Training Unit KOERI (Kandili Observatory and Earthquake Research Institute) Turki, dalam lokakarya dan simposium tentang media dan bencana, yang digelar di Pusat Riset Mitigasi Bencana, Nagoya University, Jepang, akhir Februari lalu. Acara tersebut fokus pada kolaborasi media dan lembaga riset dalam menyebarkan informasi kebencanaan dan dihadiri perwakilan ilmuwan serta jurnalis dari Cile, Turki, Jepang, dan Indonesia.

Fenomena sama disampaikan Soledad Puente, peneliti pada Pontificia Universidad Catolica de Chile. Menurut Puente, media massa di Cile cenderung fokus memberitakan tragedi setelah kejadian dengan pendekatan drama. Dalam istilah sosiolog media John H Macmanus (Market Driven Journalism, 1994), media mengekspos berbagai bentuk peristiwa bencana alam, seperti gempa dan banjir, secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial semata.

Dalam simposium, Kepala Seksi Advokasi dan Hubungan Luar United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) Jerry Velasquez menyatakan, "Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 telah mengamanatkan agar semua negara fokus pada pengurangan korban dan dampak bencana dibandingkan dengan penanganan pasca bencana."

Terkait itu, menurut Velasquez, industri media dituntut mengubah perspektif dalam meliput bencana. Mereka harus meninggalkan model peliputan yang hanya mengutamakan kepentingan peringkat ataupun peningkatan oplah. Media juga dituntut mengedepankan tanggung jawab kemanusiaan.

Salah satu model yang dijadikan contoh adalah praktik para pelaku media di Nagoya, Jepang, dengan membentuk Networking for Saving Lifes (NSL). Forum itu dinilai terobosan baru dalam rangka membangun kesadaran bersama di kalangan jurnalis di Nagoya agar lebih berperan dalam pengurangan risiko bencana di kotanya.

Pelajaran dari Nagoya

Sebagaimana disampaikan Kunihiko Kumamoto, Guru Besar Komunikasi Media Universitas Edogawa, sejak 2001, para jurnalis di Nagoya mengesampingkan persaingan demi membangun NSL. Jaringan itu kumpulan wartawan sejumlah media massa di Nagoya yang rutin bertemu setiap bulan dengan para akademisi, peneliti, dan pemerintah daerah untuk membahas kesiapsiagaan kota mereka menghadapi bencana, terutama ancaman gempa dan tsunami.

Pada forum itu, para partisipan saling bicara terbuka tentang kelemahan sistem dan hal yang harus dibenahi. Disepakati, pertemuan itu tidak untuk dilaporkan, tetapi saling mempertajam perspektif dan kepekaan terhadap kotanya. "Selain menambah pengetahuan baru, terutama bagi jurnalis, hal itu juga untuk membangun kepercayaan antarpihak, terutama wartawan dan ilmuwan, yang cenderung berjarak," kata Kumamoto, mantan wartawan NHK.

Nobuhiro Igarashi dari Nagoya Broadcasting Network menambahkan, NSL membantu wartawan lebih paham soal kebencanaan karena bisa berdiskusi dengan para ilmuwan. Hal lebih penting, itu membantu meningkatkan tanggung jawab dan semangat para wartawan untuk turut mengurangi risiko bencana di kotanya.

Praktik peliputan bencana secara konstruktif itu tidak hanya dipraktikkan di Nagoya. Berbeda dengan kebanyakan media lain, termasuk Indonesia, media di Jepang tak menampilkan gambar mayat korban bencana. Bahkan, orang menangis.

Pada liputan tsunami Tohoku 2011, tak satu pun media Jepang (baik televisi, cetak, maupun daring) menampilkan gambar mayat korban. Gambar-gambar orang menangis pun susah ditemui. Bahkan, iklan layanan komersial pun menghilang dari televisi, digantikan iklan layanan masyarakat, seperti ajakan menghormati orangtua dan membantu orang lain.

Perbedaan media Indonesia dan Jepang dalam meliput bencana itu dikisahkan mantan wartawan senior koran Yomiuri Shimbun, Yoshinari Kurose, yang pernah bertugas di Indonesia 2002-2006. Ia juga meliput tsunami Aceh 2004. "Saya terkejut, gambar-gambar mayat mendominasi media di Indonesia. Di Jepang, media tidak bisa menampilkan cerita sedih yang bisa memicu trauma. Bagaimana penanganan korban, bagaimana hidup mereka selanjutnya. Itu lebih penting diberitakan."

Kecenderungan media di Jepang yang membingkai bencana lebih "konstruktif" itu memang bukan tanpa cela. Banyak kritik ditujukan kepada media-media di Jepang yang dinilai tak memberikan gambaran nyata kebocoran radiasi nuklir PLTN Fukushima, yang terpicu tsunami 2011. Kritik juga mengarah pada kecenderungan media di Jepang yang relatif seragam dan minim kritik pada kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana.

Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat Jepang terhadap media mereka menurun setelah tsunami 2011. Sebagian mencari info di internet dan media asing yang dianggap memberikan informasi lebih lengkap tentang ancaman radiasi Fukushima.

Belajar dari Jepang dan melihat realitas komodifikasi berita bencana di Indonesia, yang bisa dilakukan untuk memperbaiki mutu liputan di Indonesia adalah memperbaiki prosedur operasi standar meliput bencana, menegakkan kode etik, dan paling penting membangun kesadaran: meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah tanggung jawab bersama.

Rabu, 31 Desember 2014

Aceh yang Asing dan Jauh

Aceh yang Asing dan Jauh

Oleh Reza Idria

SETIAP 26 Desember, kita yang memberi perhatian pada peristiwa gempa dan tsunami 2004 yang melanda Aceh dan beberapa kawasan lain di Asia Tenggara kembali berbagi ingatan tentang skala gempa, tinggi gelombang laut dan kematian yang masif setelahnya. Bagi yang selamat dari hambalang tsunami, sisa dari kiamat yang urung hari Minggu itu adalah lolong angin laut dari sela bangunan yang rubuh, genangan tsunami, gempa-gempa susulan, deru helikopter penghantar logistik bantuan, ambulan yang mengangkut tubuh luka patah dan deru truk-truk yang mengangkut jenazah ke kuburan massal. Dunia tersentak dan turun tangan dalam hajatan kematian terbesar di dekade pertama millennium ini. Tsunami 2004 ditasbihkan sebagai bencana internasional.

Nun di balik status internasional yang disematkan kepada satu bencana, “skala derita” dan derajat kehilangan adalah hal yang juga personal. Setiap orang Aceh yang menyandang status sebagai keluarga, sanak, teman atau lawan dari 220 ribu jiwa lebih yang tewas akibat bencana tsunami juga menyimpan kenangan dan nyeri yang tak terbagi, apa yang diistilahkan oleh antropolog James Siegel sebagai “the singularity of each loss”. Hal ini memungkinkan saya untuk tidak mewakili siapapun ketika berbagi ingatan, begitu juga ketika menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi di Aceh satu dekade setelahnya.

Sepuluh tahun adalah waktu yang panjang dan mustahil bagi risalah singkat ini untuk memberi detail tentang kondisi Aceh setelah bencana 2004. Selain itu, tsunami telah menjadi bandul waktu baru bagi orang Aceh, untuk menandai apa yang terjadi sebelum dan sesudah tsunami, sehingga secara otomatis penyebutannya menjadi semacam pendulum yang selalu mengayun ke dua arah. Status Aceh yang berada di bawah kendali operasi militer ketika tsunami menerjang harus saya sebutkan di awal untuk menjelaskan bagaimana terisolirnya kawasan ini dari dunia luar sehingga apa-apa yang mengejutkan sekarang terjadi di provinsi tersebut dapat memperoleh rute nalarnya. Itulah masa yang dalam bahasa Albert Camus dinyatakan sebagai “hari-hari dimana kebebasan sedang tak punya banyak sekutu,” dimana semua orang Aceh saat itu sedang bekerja keras untuk membebaskan tubuh mereka dari kehancuran dan kebinasaan yang sia-sia. Singkatnya, tsunami 2004 adalah akumulasi dari kebinasaan yang sebelumnya bersifat sporadik di tengah-tengah perseteruan GAM dan TNI.

****
TSUNAMI, satu kata asing yang datang dari jauh (setidaknya kita kenal berasal dari Bahasa Jepang), turut membawa segala hal yang jauh dan yang asing kembali tumpah ruah ke Aceh. “Yang jauh” dan “yang asing“ adalah dua hal yang saya kira memainkan peran krusial dalam membentuk identitas budaya Aceh dari masa ke masa, dimana respon orang Aceh terhadap kedua hal tersebut menjadi tolok ukur pasang surut dinamika politik, sosial dan agama di kawasan ini. Namun, tsunami dan satu dekade setelahnya memberi kita satu sketsa baru rindu dendam Aceh terhadap yang asing dan yang jauh.

Catatan-catatan yang datang dari abad ke 17 hingga akhir abad ke 19 menjelaskan bahwa telah beratus-ratus tahun manusia dari segala penjuru dunia datang dan bermukim di Aceh. Bukan hanya singgah, para peniaga, diplomat, perompak, dan pemuka agama lintas negara telah menjadikan Aceh sebagai alamat tinggal mereka, membangun apa yang kemudian dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kekuatan persenjataan kesultanan Aceh pada abad-abad itu selalu ditopang kiriman dari jauh, demikian juga pemuka agama yang digugu senantiasa tokoh dari luar. Tsunami 2004 seperti undangan reuni bagi yang asing dan yang jauh kembali berlabuh di bandar ini.

Perdamaian Aceh yang disepakati pada 15 Agustus 2005, dengan perantara pihak asing dan ditandangani di tempat yang jauh, nun di Helsinki sana, menjadi konsekuensi paling penting mengakhiri dekade-dekade penderitaan yang dialami masyarakat Aceh sebelum tsunami. Perdamaian Aceh juga memungkinkan para pelarian politik Aceh yang sebelum tsunami bergiat di tempat jauh dan terasing untuk kembali pulang. Dengan tercapainya kesepakatan damai, pembangunan Aceh yang lebih baik dapat dicanangkan dan berlangsung tanpa hambatan keamanan.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) yang menjadi lembaga resmi pemerintah Indonesia melancarkan program ambisius dalam proyek pembangunan kembali Aceh yang mencakup bidang infrastruktur dan suprastruktur, yang material dan immaterial, membentuk kedeputian yang mengurus perumahan hingga kedeputian yang mengurus budaya dan agama. Dengan dana rekonstruksi yang nyaris tidak terbatas, lembaga ini mau mendanai pembangunan stadion sepakbola hingga lomba memasak. Hasilnya, triliunan bantuan dari seluruh penjuru dunia beserta dengan pekerja kemanusiaan yang datang bersamanya, memang banyak mengubah fisik Aceh yang sebelumnya luluh lantak akibat tsunami dan perang.

*****
SEPULUH tahun mungkin kurun waktu yang panjang untuk mendirikan bangunan, namun rentang yang pendek bagi tumbuh dan stabilnya satu gagasan bajik tentang pembangunan. Juga terlalu premature untuk melahirkan kepercayaan. Satu contoh, banyak warga Banda Aceh yang menolak naik ke gedung evakuasi tsunami ketika gempa tahun 2012 karena tidak percaya pada kualitas bangunan BRR.

Di atas segalanya, persinggungan setelah tsunami antara masyarakat yang baru terlepas dari belenggu konflik dengan kehadiran “yang asing” dan “yang jauh” adalah pertemuan yang canggung. Satu krisis kepercayaan diri dari masyarakat yang mayoritas hanya mampu menonton, yang mungkin tidak diantisipasi oleh para pekerja kemanusiaan yang datang ke Aceh dari berbagai belahan bumi lain dan harus bekerja dengan skema yang tidak terjangkau oleh penontonnya. Krisis yang perlahan menggeser pandangan, dari harapan ke ancaman.

Bagaimanapun, ini tidak pernah menjadi masalah besar sampai politik membajak krisis tersebut untuk kepentingan kuasa.

Maka hari-hari terakhir ini, satu dekade setelah tsunami, ketika kata dan definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat sebelumnya bisa kita lihat sebagai satu upaya membangun kembali identitas yang lama remuk digebuk negara dan kuyup ditenggelamkan bencana, namun menyajikan satu kondisi krisis yang kompleks. Krisis inilah yang melahirkan tuntutan terus menerus agar Aceh harus dipandang dan diperlakukan berbeda, ironinya membutuhkan pengakuan dari yang luar. Politik kemudian membalikkan istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh Aceh yang cedera dimangsa kejahatan perang dan bencana alam, mengubahnya menjadi tuntutan “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “syariat” dalam makna yang sempit.

Saya memberi penekanan pada politik untuk memilah apa yang mengemuka dalam satu dekade setelah bencana di Aceh. Seperti kenangan dan nyeri akibat tsunami yang personal, apa yang bisa diberitakan dari apa yang orang Aceh pelajari setelah bencana selalu redup akibat tindakan politik atas nama identitas dan agama dalam satu dekade terakhir. Padahal tidak sedikit orang Aceh yang masih ingat bahwa dalam suasana berkabung pasca perang dan bencana tsunami, tubuh Aceh pernah dipapah oleh penduduk dunia yang datang dari seluruh penjuru. Dalam sepuluh tahun terakhir, 26 Desember setidaknya selalu menjadi hari dimana sejumlah orang menggubah syair, tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan tentang iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya. Juga tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita |

sumber: Majalah Tempo, 22-28 Des: edisi khusus 10 Tahun Tsunami Aceh. 

*Reza Idria, Departemen Antropologi, Universitas Harvard, Amerika Serikat Dosen UIN Ar Raniry

Sabtu, 27 Desember 2014

Belajar dari Memori Aceh

Belajar dari Memori Aceh


SEMULA adalah guncangan gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala Richter, permukaan laut yang surut, lalu datanglah gelombang laut mahadahsyat.
Itulah ringkasan ingatan atas apa yang terjadi di Aceh tepat 10 tahun silam. Mungkin tiada ungkapan yang bisa melukiskan peristiwa alam yang menjadi petaka tak terperi dalam sejarah bencana alam modern.

Dengan menundukkan kepala, kita kenang kembali korban yang jatuh—lebih dari 200.000 jiwa di 21 negara sepanjang Samudra Hindia, sebagian besar di antara mereka (160.000 jiwa) adalah warga Aceh.

Kita kenang pula jasa sukarelawan dari berbagai penjuru dunia yang membantu meringankan derita saat itu. Bencana Aceh 26 Desember 2004 membuktikan secara kuat solidaritas kemanusiaan yang jarang ada bandingannya.

Ada dua hal yang dapat kita refleksikan saat mengenang bencana Aceh. Pertama tentang kesadaran ilmu pengetahuan akan gempa dan tsunami, yang kedua tentang bagaimana menyikapi ancaman bencana.

Tentang kesadaran akan ilmu alam yang terkait dengan bencana, petaka di Aceh telah membuka mata kita tentang hidup di alam bencana, yang ditandai dengan bertemunya tiga lempeng tektonik besar di dunia, dan Cincin Api.

Kita sudah sering mengalami tsunami, tetapi baru bencana Aceh yang benar-benar membangunkan kesadaran akan potensi bencana, dan masyarakat menjadi familier dengan tsunami dan gempa tektonik, juga wedhus gembel (aliran piroklastik) saat gunung berapi erupsi.

Kesadaran ini selayaknyalah menjadi momentum untuk mengenal daulat alam dengan fenomenanya yang dahsyat—oleh Ellen J Prager dijadikan judul buku Furious Earth. Hal itu juga membangkitkan minat anak muda Indonesia mempelajari ilmu kealaman, seperti geologi, seismologi, vulkanologi, dan juga meteorologi (dalam kaitannya untuk merespons pemanasan global).

Untuk refleksi kedua, setelah menyadari hidup di kawasan Cincin Api, mau tak mau kesadaran yang muncul tersebut harus ditransformasikan menjadi aksi investasi untuk menghadapi bencana.

Di masa lalu, wacana baru sebatas pembangunan rumah tahan gempa. Setelah gempa Aceh, dipikirkan bagaimana mengatur tata ruang, agar saat bencana datang, warga berada di zona aman. Memang agak ironis, pembangunan kembali Aceh dinilai gagal memanfaatkan momentum. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi tak bisa merealisasikan cetak biru mengosongkan kawasan 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai.

National Geographic juga menyebutkan, di Indonesia warga secara kultural ingin hidup berdamai dengan gunnung api. Muncul pertanyaan, sinkronkah ini dengan cita-cita kita untuk menjadi masyarakat modern berbasis pengetahuan?

Mari terus kita hidupkan memori tsunami Aceh untuk menguatkan kesadaran kita pada alam dan siaga menghadapi fenomenanya.| TAJUK RENCANA  Harian KOMPAS, 26 Desember 2014
 Linda Christanty Tentang 10 Tahun Tsunami Aceh

Linda Christanty Tentang 10 Tahun Tsunami Aceh


Teman-teman, tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, tepat 10 tahun lalu. Sebelum peristiwa itu dan sesudahnya, Aceh masih berstatus darurat militer akibat konflik bersenjata antara gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia. Orang Aceh meminta bagi hasil yang adil dari penambangan mineralnya, pemerintah Suharto membalas dengan mengirimkan tentara. Di sekitar lokasi PT Arun (Exxon Mobil) para pejuang Aceh Merdeka dulu menyebarkan selebaran dan pamflet, “Javanese Go Home”. Tapi mengapa dalam Bahasa Inggris? Saya kurang tahu. Bagi mereka, orang Jawa waktu itu adalah kolonial baru, dengan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahannya. Presiden Suharto orang Jawa dan kebanyakan tentara yang kejam juga dalam wujud orang Jawa. Ini sama halnya dengan orang-orang Dayak di masa kolonial menganggap para pendeta kulit putih adalah penjajah Belanda. Efek samping biasa terjadi dalam perang. Masalah utamanya adalah ketidakadilan.

Andaikata Suharto masih hidup, sudah selayaknya orang-orang Jawa membuat perhitungan dengan dia yang telah membuat nasib mereka sengsara dan jadi korban efek samping itu. Meskipun kita tahu kemudian bahwa pemerintah daerah Aceh juga ternyata korupsi dan merampok rakyatnya sendiri. Hal serupa juga terjadi di Papua. Korupsi para pejabat daerahnya bukan lagi rahasia dan salah satu ancaman paling nyata bagi orang-orang Papua.

Baiklah, kita kembali lagi ke soal tsunami ini.

Setelah babak-belur didera konflik hampir 30 tahun, rakyat Aceh menjadi korban bencana yang disebut bencana alam terbesar di dunia dalam 40 tahun terakhir. Artinya, belum lepas dari trauma perang, mereka mengalami trauma bencana. Memulihkan orang-orang itu dari trauma tidak menjadi perhatian penting dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, selain memulihkan bangunan dan apa yang tampak (meskipun pencapaiannya ternyata tak sebanding dengan jumlah dana yang begitu besar).

Perjanjian damai di Helsinki baru ditandatangani kedua pihak yang berseteru delapan bulan pascatsunami itu. BRR dibentuk. Lembaga bantuan asing, nasional dan lokal datang ke Aceh. Ratusan jumlahnya. Uang yang dikucurkan untuk merekonstruksi Aceh mencapai Rp 70 triliyun. Lembaga tempat saya bekerja dulu ikut kecipratan rezeki dari musibah yang menimpa orang Aceh dengan memperoleh uang program untuk memantau Aceh pascatsunami dan pascakonflik melalui berita. Saya kira, banyak sekali orang atau lembaga di luar Aceh yang bernasib baik berkat musibah yang menimpa orang Aceh.

Baru saja saya membaca edisi khusus Majalah Tempo (MT). Keterangan dalam daftar isi MT bahwa “dunia memuji rekonstruksi yang berhasil mendayagunakan lebih dari Rp 70 triliyun sumbangan dari berbagai belahan bumi itu” juga kesimpulan yang menutupi sisi gelap. Tidak pernah diketahui secara pasti besar dana yang memang benar-benar didayagunakan untuk rekonstruksi tersebut. Penyelewengan tak terhitung. Pelakunya siapa saja, orang Aceh maupun non-Aceh. Ada juga orang asing yang melarikan uang bantuan untuk Aceh dan sampai sekarang masih menghuni daftar buronan pemerintah Jerman, entahlah apa ada juga dalam daftar pemerintah Indonesia. Ini hanya salah satu contoh.

Sosok Kuntoro sebagai kepala BRR juga bukan pahlawan, meskipun MT mengesankannya demikian dan salah satu artikel (mirip curhat) malah mendramatisasi "cobaan" yang dialaminya seolah-olah dia pekerja sukarela yang dilanda “tsunami” dan selamat. Jangan lupa, Kuntoro ditugaskan pemerintah dan tanggung jawab itu sudah seharusnya dilaksanakannya dengan baik. Sebagai orang yang ditunjuk pemerintah dan digaji (berapa pun jumlahnya), memang sudah menjadi kewajibannya untuk bekerja dengan benar di Aceh dan menyukseskan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Selain itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia membantu dan melindungi rakyatnya, termasuk orang Aceh.

Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa seseorang dapat disebut pahlawan apabila dia melakukan tindakan untuk orang banyak melampaui kesanggupan dan tanggung jawab yang seharusnya diembannya.

Pejabat pemerintah yang menjalankan tugas dengan baik, pegawai kantor di lembaga hak asasi manusia yang meneliti dan melaporkan kasus, para wartawan yang menjalankan tugasnya, koki yang memasak enak untuk para pengunjung restoran, penyanyi yang menghibur di klub, artis yang bermain gemilang dalam film, atlet yang menang pertandingan dasalomba…. bukan pahlawan. Mereka adalah orang yang telah bekerja dan berdedikasi untuk profesi atau pekerjaannya. Tetapi seorang ibu desa yang membangun pembangkit listrik tenaga air dengan caranya, nenek yang menyelamatkan hutan dan mengajak warga melestarikannya, bahkan para penumpang pesawat yang menggagalkan pembajak mengarahkan pesawat bunuh diri ke arah Gedung Putih atau Pentagon dulu, kepala kampung yang memimpin rakyat melawan penjajahan kolonial…. adalah pahlawan, karena mereka melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab dan kesanggupan mereka.

Pahlawan bagi orang Aceh adalah anak-anak sekolah di Jakarta, sopir taksi, warga biasa, para penduduk dunia yang tak terhitung jumlahnya dari mulai yang beragama sampai yang tidak, yang tanpa ada yang mendikte atau mewajibkan mereka, telah memberi apa yang mereka miliki untuk Aceh, bahkan nama-nama mereka tak diketahui orang Aceh. Semua itu menunjukkan apa yang dikatakan Reza Idria dalam artikelnya di MT, tapi dari sisi sebaliknya, “tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita”. Menurut saya, artikel Reza ini adalah tulisan terbaik dalam edisi khusus MT dan telah mengangkat marwah majalah tersebut. Kritis, cemerlang, terang dan mengerti duduk perkara. | sumber facebook  Linda Christanty, 26 Desember 2014

Rabu, 19 November 2014

26 Desember 2014, Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh

26 Desember 2014, Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh


JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun ini, tragedi bencana tsunami yang menimpa Aceh memasuki peringatan tahun ke-10. Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh akan diselenggarakan tanggal 26 Desember 2014.

"Ini seperti refleksi Aceh pascatsunami dan sekaligus memperlihatkan kemajuan Aceh setelah 10 tahun yang telah jauh lebih baik. Juga Aceh berterima kasih kepada dunia," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh Reza Pahlevi saat temu media di Jakarta, Rabu (15/10/2014).

Reza menjelaskan, ada malam apresiasi seni bertema Aceh untuk dunia. Isinya berupa pertunjukan seni tradisional. Selain itu, ada pula acara lomba lari 10 kilometer.

Acara lainnya adalah pameran foto dan upacara peringatan. Juga, ada ekspo berisikan informasi edukasi mengenai kebencanaan, pameran UKM, serta pameran dari organisasi yang pernah membantu Aceh pascatsunami.

"Kami mengundang 53 negara. Diperkirakan akan dihadiri 5.000 orang," jelas Reza.[kompas.com/16 oktober 2014]