Teman-teman, tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, tepat 10 tahun lalu. Sebelum peristiwa itu dan sesudahnya, Aceh masih berstatus darurat militer akibat konflik bersenjata antara gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia. Orang Aceh meminta bagi hasil yang adil dari penambangan mineralnya, pemerintah Suharto membalas dengan mengirimkan tentara. Di sekitar lokasi PT Arun (Exxon Mobil) para pejuang Aceh Merdeka dulu menyebarkan selebaran dan pamflet, “Javanese Go Home”. Tapi mengapa dalam Bahasa Inggris? Saya kurang tahu. Bagi mereka, orang Jawa waktu itu adalah kolonial baru, dengan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahannya. Presiden Suharto orang Jawa dan kebanyakan tentara yang kejam juga dalam wujud orang Jawa. Ini sama halnya dengan orang-orang Dayak di masa kolonial menganggap para pendeta kulit putih adalah penjajah Belanda. Efek samping biasa terjadi dalam perang. Masalah utamanya adalah ketidakadilan.
Andaikata Suharto masih hidup, sudah selayaknya orang-orang Jawa membuat perhitungan dengan dia yang telah membuat nasib mereka sengsara dan jadi korban efek samping itu. Meskipun kita tahu kemudian bahwa pemerintah daerah Aceh juga ternyata korupsi dan merampok rakyatnya sendiri. Hal serupa juga terjadi di Papua. Korupsi para pejabat daerahnya bukan lagi rahasia dan salah satu ancaman paling nyata bagi orang-orang Papua.
Baiklah, kita kembali lagi ke soal tsunami ini.
Setelah babak-belur didera konflik hampir 30 tahun, rakyat Aceh menjadi korban bencana yang disebut bencana alam terbesar di dunia dalam 40 tahun terakhir. Artinya, belum lepas dari trauma perang, mereka mengalami trauma bencana. Memulihkan orang-orang itu dari trauma tidak menjadi perhatian penting dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, selain memulihkan bangunan dan apa yang tampak (meskipun pencapaiannya ternyata tak sebanding dengan jumlah dana yang begitu besar).
Perjanjian damai di Helsinki baru ditandatangani kedua pihak yang berseteru delapan bulan pascatsunami itu. BRR dibentuk. Lembaga bantuan asing, nasional dan lokal datang ke Aceh. Ratusan jumlahnya. Uang yang dikucurkan untuk merekonstruksi Aceh mencapai Rp 70 triliyun. Lembaga tempat saya bekerja dulu ikut kecipratan rezeki dari musibah yang menimpa orang Aceh dengan memperoleh uang program untuk memantau Aceh pascatsunami dan pascakonflik melalui berita. Saya kira, banyak sekali orang atau lembaga di luar Aceh yang bernasib baik berkat musibah yang menimpa orang Aceh.
Baru saja saya membaca edisi khusus Majalah Tempo (MT). Keterangan dalam daftar isi MT bahwa “dunia memuji rekonstruksi yang berhasil mendayagunakan lebih dari Rp 70 triliyun sumbangan dari berbagai belahan bumi itu” juga kesimpulan yang menutupi sisi gelap. Tidak pernah diketahui secara pasti besar dana yang memang benar-benar didayagunakan untuk rekonstruksi tersebut. Penyelewengan tak terhitung. Pelakunya siapa saja, orang Aceh maupun non-Aceh. Ada juga orang asing yang melarikan uang bantuan untuk Aceh dan sampai sekarang masih menghuni daftar buronan pemerintah Jerman, entahlah apa ada juga dalam daftar pemerintah Indonesia. Ini hanya salah satu contoh.
Sosok Kuntoro sebagai kepala BRR juga bukan pahlawan, meskipun MT mengesankannya demikian dan salah satu artikel (mirip curhat) malah mendramatisasi "cobaan" yang dialaminya seolah-olah dia pekerja sukarela yang dilanda “tsunami” dan selamat. Jangan lupa, Kuntoro ditugaskan pemerintah dan tanggung jawab itu sudah seharusnya dilaksanakannya dengan baik. Sebagai orang yang ditunjuk pemerintah dan digaji (berapa pun jumlahnya), memang sudah menjadi kewajibannya untuk bekerja dengan benar di Aceh dan menyukseskan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Selain itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia membantu dan melindungi rakyatnya, termasuk orang Aceh.
Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa seseorang dapat disebut pahlawan apabila dia melakukan tindakan untuk orang banyak melampaui kesanggupan dan tanggung jawab yang seharusnya diembannya.
Pejabat pemerintah yang menjalankan tugas dengan baik, pegawai kantor di lembaga hak asasi manusia yang meneliti dan melaporkan kasus, para wartawan yang menjalankan tugasnya, koki yang memasak enak untuk para pengunjung restoran, penyanyi yang menghibur di klub, artis yang bermain gemilang dalam film, atlet yang menang pertandingan dasalomba…. bukan pahlawan. Mereka adalah orang yang telah bekerja dan berdedikasi untuk profesi atau pekerjaannya. Tetapi seorang ibu desa yang membangun pembangkit listrik tenaga air dengan caranya, nenek yang menyelamatkan hutan dan mengajak warga melestarikannya, bahkan para penumpang pesawat yang menggagalkan pembajak mengarahkan pesawat bunuh diri ke arah Gedung Putih atau Pentagon dulu, kepala kampung yang memimpin rakyat melawan penjajahan kolonial…. adalah pahlawan, karena mereka melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab dan kesanggupan mereka.
Pahlawan bagi orang Aceh adalah anak-anak sekolah di Jakarta, sopir taksi, warga biasa, para penduduk dunia yang tak terhitung jumlahnya dari mulai yang beragama sampai yang tidak, yang tanpa ada yang mendikte atau mewajibkan mereka, telah memberi apa yang mereka miliki untuk Aceh, bahkan nama-nama mereka tak diketahui orang Aceh. Semua itu menunjukkan apa yang dikatakan Reza Idria dalam artikelnya di MT, tapi dari sisi sebaliknya, “tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita”. Menurut saya, artikel Reza ini adalah tulisan terbaik dalam edisi khusus MT dan telah mengangkat marwah majalah tersebut. Kritis, cemerlang, terang dan mengerti duduk perkara. | sumber facebook Linda Christanty, 26 Desember 2014
Baiklah, kita kembali lagi ke soal tsunami ini.
Setelah babak-belur didera konflik hampir 30 tahun, rakyat Aceh menjadi korban bencana yang disebut bencana alam terbesar di dunia dalam 40 tahun terakhir. Artinya, belum lepas dari trauma perang, mereka mengalami trauma bencana. Memulihkan orang-orang itu dari trauma tidak menjadi perhatian penting dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, selain memulihkan bangunan dan apa yang tampak (meskipun pencapaiannya ternyata tak sebanding dengan jumlah dana yang begitu besar).
Perjanjian damai di Helsinki baru ditandatangani kedua pihak yang berseteru delapan bulan pascatsunami itu. BRR dibentuk. Lembaga bantuan asing, nasional dan lokal datang ke Aceh. Ratusan jumlahnya. Uang yang dikucurkan untuk merekonstruksi Aceh mencapai Rp 70 triliyun. Lembaga tempat saya bekerja dulu ikut kecipratan rezeki dari musibah yang menimpa orang Aceh dengan memperoleh uang program untuk memantau Aceh pascatsunami dan pascakonflik melalui berita. Saya kira, banyak sekali orang atau lembaga di luar Aceh yang bernasib baik berkat musibah yang menimpa orang Aceh.
Baru saja saya membaca edisi khusus Majalah Tempo (MT). Keterangan dalam daftar isi MT bahwa “dunia memuji rekonstruksi yang berhasil mendayagunakan lebih dari Rp 70 triliyun sumbangan dari berbagai belahan bumi itu” juga kesimpulan yang menutupi sisi gelap. Tidak pernah diketahui secara pasti besar dana yang memang benar-benar didayagunakan untuk rekonstruksi tersebut. Penyelewengan tak terhitung. Pelakunya siapa saja, orang Aceh maupun non-Aceh. Ada juga orang asing yang melarikan uang bantuan untuk Aceh dan sampai sekarang masih menghuni daftar buronan pemerintah Jerman, entahlah apa ada juga dalam daftar pemerintah Indonesia. Ini hanya salah satu contoh.
Sosok Kuntoro sebagai kepala BRR juga bukan pahlawan, meskipun MT mengesankannya demikian dan salah satu artikel (mirip curhat) malah mendramatisasi "cobaan" yang dialaminya seolah-olah dia pekerja sukarela yang dilanda “tsunami” dan selamat. Jangan lupa, Kuntoro ditugaskan pemerintah dan tanggung jawab itu sudah seharusnya dilaksanakannya dengan baik. Sebagai orang yang ditunjuk pemerintah dan digaji (berapa pun jumlahnya), memang sudah menjadi kewajibannya untuk bekerja dengan benar di Aceh dan menyukseskan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Selain itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia membantu dan melindungi rakyatnya, termasuk orang Aceh.
Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa seseorang dapat disebut pahlawan apabila dia melakukan tindakan untuk orang banyak melampaui kesanggupan dan tanggung jawab yang seharusnya diembannya.
Pejabat pemerintah yang menjalankan tugas dengan baik, pegawai kantor di lembaga hak asasi manusia yang meneliti dan melaporkan kasus, para wartawan yang menjalankan tugasnya, koki yang memasak enak untuk para pengunjung restoran, penyanyi yang menghibur di klub, artis yang bermain gemilang dalam film, atlet yang menang pertandingan dasalomba…. bukan pahlawan. Mereka adalah orang yang telah bekerja dan berdedikasi untuk profesi atau pekerjaannya. Tetapi seorang ibu desa yang membangun pembangkit listrik tenaga air dengan caranya, nenek yang menyelamatkan hutan dan mengajak warga melestarikannya, bahkan para penumpang pesawat yang menggagalkan pembajak mengarahkan pesawat bunuh diri ke arah Gedung Putih atau Pentagon dulu, kepala kampung yang memimpin rakyat melawan penjajahan kolonial…. adalah pahlawan, karena mereka melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab dan kesanggupan mereka.
Pahlawan bagi orang Aceh adalah anak-anak sekolah di Jakarta, sopir taksi, warga biasa, para penduduk dunia yang tak terhitung jumlahnya dari mulai yang beragama sampai yang tidak, yang tanpa ada yang mendikte atau mewajibkan mereka, telah memberi apa yang mereka miliki untuk Aceh, bahkan nama-nama mereka tak diketahui orang Aceh. Semua itu menunjukkan apa yang dikatakan Reza Idria dalam artikelnya di MT, tapi dari sisi sebaliknya, “tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita”. Menurut saya, artikel Reza ini adalah tulisan terbaik dalam edisi khusus MT dan telah mengangkat marwah majalah tersebut. Kritis, cemerlang, terang dan mengerti duduk perkara. | sumber facebook Linda Christanty, 26 Desember 2014
Linda Christanty Tentang 10 Tahun Tsunami Aceh
4/
5
Oleh
Kitab Maop