Rabu, 31 Desember 2014

Ziarah Ke Aceh, Mengenang Sahabat

Ziarah Ke Aceh, Mengenang Sahabat

Oleh Ahmad Arif [wartawan Kompas]

Setiap tanggal 26 Desember, ingatan Mohammad Hamzah, wartawan Suara Pembaruan di Banda Aceh, seperti diputar ulang. Dia tak pernah lupa percakapan terakhirnya dengan sang sahabat, wartawan Kompas, Nadjmuddin Oemar.

Ahmad Arif

Minggu pagi itu, persis 10 tahun lalu, seperempat jam setelah gempa berkekuatan 9,3 skala Richter mengguncang Aceh. Hamzah masih berdiri di halaman rumah dengan kebingungan ketika telepon genggamnya berdering. Nama Nadjmuddin terpampang di layar. ”Hai kabudoeh peu kaeh lom,” kata Nadjmuddin dengan nada bercanda mengingatkan Hamzah agar lekas bangun dan jangan tidur lagi.

Hanya satu kalimat, setelah itu terputus. Bahkan, Hamzah pun tak sempat mengiyakan. ”Saya coba telepon dia, tetapi tidak nyambung,” kisah Hamzah. Perasaannya galau, tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Tak berselang lama, Hamzah mendengar teriakan panik bersahutan, ”Air! Air! Air! Air...!” Keriuhan itu berbarengan dengan suara langkah kaki orang yang berhamburan dari belakang rumahnya, dari arah laut.

”Kebakarankah?” pikir Hamzah. Di Aceh kala itu, teriakan air identik dengan kebakaran. Secara refleks Hamzah memanjat dinding rumahnya, mencari tahu di mana kebakaran itu. Dari kejauhan ia melihat air hitam bergelombang, bergulung-gulung, menelan rumah warga hingga ke atap. Seketika dia turun, lari sekuat-kuatnya ke jalan besar, hanyut dalam kerumunan orang yang kebingungan.

Dari arah belakang, air bergulung mengejarnya, menelan apa dan siapa saja. Entah sudah berapa ratus meter ia berlari ketika bertemu teman yang hendak mengantarkan sepeda motornya yang dipinjam. ”Saya langsung menyuruhnya memutar balik ke arah Simpang Jeulingke,” kisahnya.

Hamzah menemukan istrinya, sejarak 800 meter dari rumah. Berjejalan mereka naik sepeda motor. Dia panggul kedua anaknya. Istrinya duduk di belakang bersama keponakan. ”Saya tak tahu bagaimana bisa naik sepeda motor berenam. Itu keajaiban,” ujarnya.

Hamzah yang tinggal 300 meter dari bibir pantai akhirnya selamat dari gempa dan tsunami. Sementara Najmuddin, yang tinggal di Kajhu, menghilang bersama sekitar 160.000 warga Aceh lainnya.

Hamzah mengaku selamat karena kebetulan. Dia tak pernah mengantisipasi kemungkinan tsunami, sebagaimana kebanyakan warga Aceh lainnya, sekalipun goyangan gempa sangat dikenal warga, sedekat desing peluru dan dentum bom selama 30 tahun konflik bersenjata.

Hingga sebelum gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 itu, tak sekali pun kabar di media massa mengungkap ancaman tsunami di Aceh. Inilah dosa berjemaah antara ilmuwan, pemerintah, dan pekerja media yang alpa mengingatkan warga untuk bersiaga. Bayangan tentang negeri yang dibelit Cincin Api Pasifik—zona terjadinya 80 persen gempa dan tsunami paling mematikan di Bumi—saat itu masih jauh dari benak masyarakat Aceh, bahkan masyarakat Indonesia.

Kehidupan baru

Kamis (25/12) malam, satu dekade setelah bencana itu. Dari jendela pesawat yang perlahan turun, Kota Banda Aceh terlihat gemerlap. Kerlip cahaya juga terlihat sepanjang garis pantai, memberikan sinyal kehidupan baru telah bersemi. Rumah kembali memadati kota pesisir ini, melebihi sebelum 2004. Bangunannya lebih megah. Jalanan pun lebih mulus.

Masih terbayang betapa kota ini pernah sedemikian sunyi. Saat itu seminggu setelah tsunami, di jalan menuju pinggir pantai Kajhu, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Tak ada suara manusia ataupun binatang. Hanya debur ombak yang pelan memukul pantai dan desau angin yang sayup.

Puing-puing bekas bangunan dan ranting patah yang berserak tertutup pasir lembut. Air laut seperti telah mencuci bersih daratan lalu membawa pergi semua penghuninya.

Hingga sebelum tsunami datang menggulung, di kawasan inilah Nadjmuddin Oemar dan keluarga tinggal. Suatu waktu pada pertengahan November 2004, sebelum laut berkhianat, Nadjmuddin mengajak menyusuri jalanan di kampungnya.

Pantai itu sesak dengan kehidupan. Rumah berimpitan, persis dengan kondisi saat ini. Anak-anak bermain di pantai, di antara laju perahu nelayan. ”Aceh harus damai, entah kapan,” katanya saat itu.

Nadjmuddin melewati ketegangan dan bahaya meliput konflik Aceh dengan senyum ramahnya yang khas sekalipun namanya masuk dalam laporan Reporters Without Borders (2002) sebagai salah satu wartawan di dunia yang mendapat tekanan dari aparat keamanan. Tetapi, nasibnya digariskan berakhir oleh amuk laut.

Dia tak pernah menduga, di kedalaman Samudra Hindia, sebuah daya telah dikumpulkan dalam bilangan abad demi abad. Dua lempeng, Indo-Australia dan Eurasia, terus bergerak. Saling tekan, hunjam, dan mengunci. Hingga tiba-tiba bebatuan itu patah, satu menit menjelang pukul 08.00, Minggu, 26 Desember 2004.

Gempa dahsyat tercipta. Salah satu yang terkuat yang tercatat dalam hikayat. Guncangan itu mengocok miliaran ton air laut dalam, memunculkan gelombang raksasa dan melumatkan daratan Aceh setengah jam kemudian. Tsunami!

Nadjmuddin tak pernah ditemukan lagi sejak itu. Dua puluh enam wartawan Aceh lain hilang atau meninggal akibat tsunami. Nyaris tidak ada orang Aceh yang tak kehilangan saudara atau sahabat.

Namun, bagi Aceh, tsunami bukan hanya kematian. Hanya delapan bulan setelah bencana itu, perang pun berakhir. Itulah kuasa lain bencana alam dalam mengubah laju peradaban.

Satu dekade setelah tsunami, ingatan tentang tsunami mulai kabur. Barangkali Milan Kundera benar saat mengatakan, ”...pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invasi Rusia ke Cekoslowakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi Banglades, perang di Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja membuat orang lupa pada Sinai, begitu seterusnya, hingga segala sesuatunya dilupakan.”

Namun, tsunami Aceh tak boleh dilupakan. Lebih penting lagi, tragedi itu mesti membuat kita terus belajar jadi bangsa lebih kuat dan senantiasa bersiaga karena, hanya soal waktu, laut akan kembali datang menyerbu daratan di negeri ini.| Harian Kompas, Jumat, 26 Desember 2014.
Aceh yang Asing dan Jauh

Aceh yang Asing dan Jauh

Oleh Reza Idria

SETIAP 26 Desember, kita yang memberi perhatian pada peristiwa gempa dan tsunami 2004 yang melanda Aceh dan beberapa kawasan lain di Asia Tenggara kembali berbagi ingatan tentang skala gempa, tinggi gelombang laut dan kematian yang masif setelahnya. Bagi yang selamat dari hambalang tsunami, sisa dari kiamat yang urung hari Minggu itu adalah lolong angin laut dari sela bangunan yang rubuh, genangan tsunami, gempa-gempa susulan, deru helikopter penghantar logistik bantuan, ambulan yang mengangkut tubuh luka patah dan deru truk-truk yang mengangkut jenazah ke kuburan massal. Dunia tersentak dan turun tangan dalam hajatan kematian terbesar di dekade pertama millennium ini. Tsunami 2004 ditasbihkan sebagai bencana internasional.

Nun di balik status internasional yang disematkan kepada satu bencana, “skala derita” dan derajat kehilangan adalah hal yang juga personal. Setiap orang Aceh yang menyandang status sebagai keluarga, sanak, teman atau lawan dari 220 ribu jiwa lebih yang tewas akibat bencana tsunami juga menyimpan kenangan dan nyeri yang tak terbagi, apa yang diistilahkan oleh antropolog James Siegel sebagai “the singularity of each loss”. Hal ini memungkinkan saya untuk tidak mewakili siapapun ketika berbagi ingatan, begitu juga ketika menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi di Aceh satu dekade setelahnya.

Sepuluh tahun adalah waktu yang panjang dan mustahil bagi risalah singkat ini untuk memberi detail tentang kondisi Aceh setelah bencana 2004. Selain itu, tsunami telah menjadi bandul waktu baru bagi orang Aceh, untuk menandai apa yang terjadi sebelum dan sesudah tsunami, sehingga secara otomatis penyebutannya menjadi semacam pendulum yang selalu mengayun ke dua arah. Status Aceh yang berada di bawah kendali operasi militer ketika tsunami menerjang harus saya sebutkan di awal untuk menjelaskan bagaimana terisolirnya kawasan ini dari dunia luar sehingga apa-apa yang mengejutkan sekarang terjadi di provinsi tersebut dapat memperoleh rute nalarnya. Itulah masa yang dalam bahasa Albert Camus dinyatakan sebagai “hari-hari dimana kebebasan sedang tak punya banyak sekutu,” dimana semua orang Aceh saat itu sedang bekerja keras untuk membebaskan tubuh mereka dari kehancuran dan kebinasaan yang sia-sia. Singkatnya, tsunami 2004 adalah akumulasi dari kebinasaan yang sebelumnya bersifat sporadik di tengah-tengah perseteruan GAM dan TNI.

****
TSUNAMI, satu kata asing yang datang dari jauh (setidaknya kita kenal berasal dari Bahasa Jepang), turut membawa segala hal yang jauh dan yang asing kembali tumpah ruah ke Aceh. “Yang jauh” dan “yang asing“ adalah dua hal yang saya kira memainkan peran krusial dalam membentuk identitas budaya Aceh dari masa ke masa, dimana respon orang Aceh terhadap kedua hal tersebut menjadi tolok ukur pasang surut dinamika politik, sosial dan agama di kawasan ini. Namun, tsunami dan satu dekade setelahnya memberi kita satu sketsa baru rindu dendam Aceh terhadap yang asing dan yang jauh.

Catatan-catatan yang datang dari abad ke 17 hingga akhir abad ke 19 menjelaskan bahwa telah beratus-ratus tahun manusia dari segala penjuru dunia datang dan bermukim di Aceh. Bukan hanya singgah, para peniaga, diplomat, perompak, dan pemuka agama lintas negara telah menjadikan Aceh sebagai alamat tinggal mereka, membangun apa yang kemudian dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kekuatan persenjataan kesultanan Aceh pada abad-abad itu selalu ditopang kiriman dari jauh, demikian juga pemuka agama yang digugu senantiasa tokoh dari luar. Tsunami 2004 seperti undangan reuni bagi yang asing dan yang jauh kembali berlabuh di bandar ini.

Perdamaian Aceh yang disepakati pada 15 Agustus 2005, dengan perantara pihak asing dan ditandangani di tempat yang jauh, nun di Helsinki sana, menjadi konsekuensi paling penting mengakhiri dekade-dekade penderitaan yang dialami masyarakat Aceh sebelum tsunami. Perdamaian Aceh juga memungkinkan para pelarian politik Aceh yang sebelum tsunami bergiat di tempat jauh dan terasing untuk kembali pulang. Dengan tercapainya kesepakatan damai, pembangunan Aceh yang lebih baik dapat dicanangkan dan berlangsung tanpa hambatan keamanan.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) yang menjadi lembaga resmi pemerintah Indonesia melancarkan program ambisius dalam proyek pembangunan kembali Aceh yang mencakup bidang infrastruktur dan suprastruktur, yang material dan immaterial, membentuk kedeputian yang mengurus perumahan hingga kedeputian yang mengurus budaya dan agama. Dengan dana rekonstruksi yang nyaris tidak terbatas, lembaga ini mau mendanai pembangunan stadion sepakbola hingga lomba memasak. Hasilnya, triliunan bantuan dari seluruh penjuru dunia beserta dengan pekerja kemanusiaan yang datang bersamanya, memang banyak mengubah fisik Aceh yang sebelumnya luluh lantak akibat tsunami dan perang.

*****
SEPULUH tahun mungkin kurun waktu yang panjang untuk mendirikan bangunan, namun rentang yang pendek bagi tumbuh dan stabilnya satu gagasan bajik tentang pembangunan. Juga terlalu premature untuk melahirkan kepercayaan. Satu contoh, banyak warga Banda Aceh yang menolak naik ke gedung evakuasi tsunami ketika gempa tahun 2012 karena tidak percaya pada kualitas bangunan BRR.

Di atas segalanya, persinggungan setelah tsunami antara masyarakat yang baru terlepas dari belenggu konflik dengan kehadiran “yang asing” dan “yang jauh” adalah pertemuan yang canggung. Satu krisis kepercayaan diri dari masyarakat yang mayoritas hanya mampu menonton, yang mungkin tidak diantisipasi oleh para pekerja kemanusiaan yang datang ke Aceh dari berbagai belahan bumi lain dan harus bekerja dengan skema yang tidak terjangkau oleh penontonnya. Krisis yang perlahan menggeser pandangan, dari harapan ke ancaman.

Bagaimanapun, ini tidak pernah menjadi masalah besar sampai politik membajak krisis tersebut untuk kepentingan kuasa.

Maka hari-hari terakhir ini, satu dekade setelah tsunami, ketika kata dan definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat sebelumnya bisa kita lihat sebagai satu upaya membangun kembali identitas yang lama remuk digebuk negara dan kuyup ditenggelamkan bencana, namun menyajikan satu kondisi krisis yang kompleks. Krisis inilah yang melahirkan tuntutan terus menerus agar Aceh harus dipandang dan diperlakukan berbeda, ironinya membutuhkan pengakuan dari yang luar. Politik kemudian membalikkan istilah-istilah seperti “kemanusiaan”, “kesetiakawanan” dan “kesetaraan” yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh Aceh yang cedera dimangsa kejahatan perang dan bencana alam, mengubahnya menjadi tuntutan “keistimewaan,” “kekhususan,” atau “syariat” dalam makna yang sempit.

Saya memberi penekanan pada politik untuk memilah apa yang mengemuka dalam satu dekade setelah bencana di Aceh. Seperti kenangan dan nyeri akibat tsunami yang personal, apa yang bisa diberitakan dari apa yang orang Aceh pelajari setelah bencana selalu redup akibat tindakan politik atas nama identitas dan agama dalam satu dekade terakhir. Padahal tidak sedikit orang Aceh yang masih ingat bahwa dalam suasana berkabung pasca perang dan bencana tsunami, tubuh Aceh pernah dipapah oleh penduduk dunia yang datang dari seluruh penjuru. Dalam sepuluh tahun terakhir, 26 Desember setidaknya selalu menjadi hari dimana sejumlah orang menggubah syair, tentang kehilangan, tentang harapan, tentang masa depan Aceh, dan tentang iman yang tidak kehilangan rasa percaya dirinya. Juga tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita |

sumber: Majalah Tempo, 22-28 Des: edisi khusus 10 Tahun Tsunami Aceh. 

*Reza Idria, Departemen Antropologi, Universitas Harvard, Amerika Serikat Dosen UIN Ar Raniry

Senin, 29 Desember 2014

Mengenangkan Gelombang Raya 10 Tahun Silam

Mengenangkan Gelombang Raya 10 Tahun Silam

Catatan Kaki Jodhi Yudono
Gempa itu, gelombang laut besar itu, menenggelamkan negeri di ujung barat republik ini hingga rata dengan tanah, sepuluh tahun lalu. Ribuan orang yang mati, sementara yang hidup sebagian cacat, sebagian lainnya hidup dalam kehampaan lantaran ditinggal orang-orang tercinta, sebagian lainnya tak terdengar kabar beritanya oleh amukan gelombang yang garang.
Pagi itu, warga Aceh baru saja membuka hari. Matahari dengan sinarnya yang indah juga baru saja menggeliat. Seperti galibnya hari minggu, sebagian orang masih bermalas-malasan di ranjang atau di teras rumah sambil mereguk kopi dan penganan kecil. Tapi sebagian lainnya sudah bergegas menjalankan roda kehidupan sesuai profesinya masing-masing. Para nelayan pergi melaut, ibu-ibu sibuk di dapur, anak-anak sekolah tentu saja menikmati hari libur, sebagian pemuda berolahraga, sebagian lainnya pergi ke pantai untuk berwisata, para buruh pergi ke pabrik, pasar sudah hiruk pikuk. Sementara di angkasa, burung-burung baru saja meninggalkan sarangnya.
Saat semua orang sedang menjalani kebiasaan hidupnya itulah, mendadak, pada pukul 07.58 WIB, Minggu 26 desember 2004, Aceh bergetar hebat. Penduduk Aceh yang gemetar, seperti diayak ke kanan dan kiri, ke belakang dan ke depan, serta ke atas dan ke bawah yang berlangsung puluhan menit. Berayun-ayun terus menerus. Orang-orang pun bergegas keluar rumah. Mereka berkumpul di jalan-jalan dan tanah-tanah lapang. kepala mereka yang pusing sehingga banyak yang terjerembab ke tanah atau aspal.
Dalam kepanikan itulah, semua orang seperti diingatkan untuk menyeru Sang Pencipta. suara azan berkumandang dari menara-menara masjid dan meunasah. Zikir dilambungkan ke angkasa oleh jutaan manusia yang memohon pertolongan dan perlindungan dariNya.
Setelah gempa reda, sebagian orang melihat situasi. Mereka berjalan melihat bangunan yang rubuh, tanah terbelah, dan rumah yang tertelan bumi. Tidak ada tada-tanda alam bakal murka untuk yang kedua. Tidak ada yang menduga sebentar lagi akan datang bencana dahsyat yang akan melumpuhkan banda aceh. Juga tak ada yang memahami pertanda alam, manakala air laut surut berartus-ratus meter jauhnya, orang-orang di pantai justru asyik mengumpulkan ikan yang mengelapar, bahkan air sungai pun mengering. Mereka tidak seperti orang Simelueu yang akan segera berlari ke tempat-tempat yang tinggi jika pertanda alam seperti ini terjadi. Orang-orang di pantai Aceh itu tak bisa membaca pertanda bahwa bencana akan segera tiba, bahkan mereka seperti melupakan gempa yang barus saja terjadi.
Di berbagai tempat, orang-orang memperbincangkan gempa dahsyat yang baru saja terjadi yang belum pernah mereka alami. Ketika mereka sedang saling bercerita itulah, tiba-tiba terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dan disertai gemuruh dari arah laut. Dentuman itu susul menyusul, dentuman itu terdengar di sepanjang pesisir Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat dan Nagan Raya.
Orang-orang semula mengira itu adalah bunyi bom. Maklumlah, sebelum peristiwa ini terjadi, orang Aceh sudah terbiasa dengan bunyi bom yang meledak sepanjang konflik berlangsung di bumi Serambi Aceh. Orang-orang pun bertanya, mengapa masih saja ada sekelompok orang yang tega berperang pada situasi bencana yang membuat nestapa?
Orang-orang mengira, pagi itu hanya sekedar gempa biasa, mereka tidak mengira penyebab dentuman itu berasal dari patahan lempeng bumi yang berpusat di Samudera Indonesia, sekitar 149 km sebelah selatan Calang Aceh Jaya.
Belum sempat mereka bernapas lega akibat gempa, dalam suasana kacau balau, mendadak mereka diterjang air hitam yang datang tiba-tiba disertai suara gemuruh mengerikan yang bergerak cepat dan menerjang apa saja yang dilaluinya. Gelombang raya itu bagai bukit yang berjalan, sebab di tenapat-tempat tertentu gelombang air mencapai 18 meter, bahkan ada yang 35 meter seperti yang terjadi di pantai Lhok Nga.
Air bah warna hitam itu juga bagai naga beringas yang mencari mangsa. Air dengan kecepatan ratusan km/jam itu bagai buldozer yang merubuhkan semua yang dilewatinya. Rumah, mobil, kayu, tembok, semua terbawa oleh air bah yang bernama smong dalam istilah masyarakat Simeleuh atau tsunami dalam bahasa Jepang.
Kapal apung PLN yang bersandar di Uleleu Banda Aeh digelandang gelombang sampai 3 km ke darat. Sekarang kapal itu menjadi salah satu obyek wisata tsunami. Demikian juga kapal-kapal besar milik nelayan, dibawa tsunami ke jalan-jalan raya, termasuk mesin cetak milik Koran Serambi Indonesia yang hanyut hinga 1 km. Rumah, toko, hotel, rata dengan tanah.

Setelah 15 menit, aceh pun lengang dan senyap. sebagian besar permukiman rata dengan tanah, ratusan ribu orang tewas, sementara yang masih hidup nelangsa berkepanjangan seraya meratapi nasibnya yang penuh duka. Detak kehidupan seperti berhenti mati pada hari itu.
Ya, ya... Gelombang itu juga tak cuma melumpuhkan kaki dan anggota badan lainnya, tapi juga mental semua orang Aceh.
Gelombang raya itu benar-benar telah meluluhlantakan Banda Aceh. Mayat-mayat manusia berserakan di mana-mana, juga bangkai mobil, motor, pohon dan binatang, tergeletak di sembarang tempat. Gempa dan gelombang telah mematikan Aceh dalam arti sebenarnya.
Bahkan mereka yang semula bersitegang menggunakan senjata dan kata-kata, langsung diam seribu bahasa.
Hari itu semesta telah membuktikan kebengisannya, melebihi kebengisan yang bisa diperbuat oleh manusia di bumi Aceh. Ribuan manusia tewas dalam hitungan detik.
Begitulah cara alam bekerja dan bertindak. Maka di balik itu semua, selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Barangkali sudah saatnya, Serambi Mekah itu dibersihkan dari iri dan dengki serta permusuhan. Barangkali sudah saatnya Serambi Mekah itu menjadi negeri indah tempat para muslim beribadah dan bekerja.
Negeri Aceh seperti hendak membuka lembaran hidup yang baru. Gelombang Raya itu menjadi penanda berakhirnya rasa takut warga yang hendak bepergian di negerinya sendiri.
Maka kini, setelah sepuluh tahun tsunami lewat, saya tak cemas ketika melintas dari Takengon menuju Medan melalui jalan darat. Begitu juga saat menyusuri Bireun hingga Lhokseumawe, saya dan kawan-kawan seperjalanan bisa bersendagurau sepanjang perjalanan. Tidak seperti sebelum tsunami datang. Seorang kawan yang hendak pergi ke Medan dari rumahnya di Takengon, harus menahan ketegangan sepanjang perjalanan.
Sykurlah, kini Aceh sudah aman. Mereka yang bersengketa tak harus mengangkat senjata untuk menegaskan pendapatnya. Semoga bencana itu menjadikan kita menjadi kian bijaksana, menjadikan kita tambah giat beribadah dan juga bekerja. | KOMPAS, Jumat 26 Desember 2014
@JodhiY

Minggu, 28 Desember 2014

Tsunami, 10 Tahun Kemudian

Oleh Azhari Aiyub 

Saya tidak berada di Aceh ketika 10 tahun lalu tsunami menghancurkan Aceh. Untuk menggambarkan bencana tersebut, kata “kehancuran” akan sering saya pakai dalam tulisan ini karena saya tidak punya kata-kata lain untuk menggantikannya.

Saya tiba di Aceh dua hari kemudian, pada hari itu juga saya terlempar ke dalam sebuah pusaran kekacauan yang, berdasarkan pengalaman pribadi saya, masih belum berakhir hingga sekarang. Seperti kebanyakan orang lain, bencana ini telah merampas hal yang teramat berharga dalam kehidupan kami.

Beberapa waktu yang lalu, saya ditanya oleh seorang wartawan asing: bagaimana kamu berdamai dengan kehilangan ini?--tentunya bukan pertanyaan pertama dan terakhir. Saya jawab, belum bisa. Setidaknya momentum 10 tahun tidak cukup berguna dalam kasus ini.

Saat menulis kolom ini, saya mempertimbangkan berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memulainya dengan hal yang sangat personal, terutama untuk melihat apa pentingnya bencana yang paling mengerikan dalam sejarah modern umat manusia ini dikenang dan diperingati. Setiap tahun, saya tidak pernah mau memperingati kejadian ini. Karena, menurut saya, memang tidak ada sisi yang menyenangkan dari kejadian ini yang pantas untuk diperingati.

Peringatan untuk kejadian ini menjadi sesuatu yang sangat pribadi, sulit untuk dibagi kepada orang lain, walaupun saya ingin sekali melakukannya dan orang lain mungkin sangat ingin berempati. Tidak ada yang dapat menduga perasaan siapa pun pada momen-momen seperti ini. Kesedihan telah menjadi gaib.

Pemerintah sendiri memperingati bencana ini setiap tahun. Tahun pertama dan kedua masih terasa sederhana dan khidmat, mungkin karena latar untuk itu masih alami, masih ada puing-puing bekas tsunami yang menakutkan serta tengkorak para korban masih ditemukan di antara reruntuhan.

Tapi, setelah rumah-rumah berdiri dan jalan-jalan diperbaiki, dari tahun ke tahun saya melihat tujuan dari seremoni peringatan kian kehilangan sisi untuk menghormati perasaan berduka para korban. Peringatan tsunami dalam dua tahun terakhir semakin terlihat untuk mempromosikan industri pariwisata. Mengundang orang-orang untuk terlibat dalam dukacita, dalam kehancuran, yang mungkin tidak pernah bisa mereka rasakan walaupun mereka telah berusaha mencobanya.

Pemerintah setiap tahun selalu berpesan kepada para korban agar jangan terjebak dalam ingatan yang buruk dan dapat mengambil hikmah atas apa yang telah terjadi. Lalu, dalam dua tahun terakhir ini juga, pemerintah berusaha menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam upayanya mengatasi kehancuran tersebut. Pemerintah selalu punya harapan bahwa pencapaian dapat menggantikan apa-apa yang telah hilang di masa lalu.

Setelah tsunami menghancurkan Aceh 10 tahun lalu, sekilas wajah Aceh memang berubah. Tidak ada lagi puing-puing berserakan sebagaimana pemandangan yang umum terlihat pada tiga tahun pertama bencana. Orang-orang yang datang ke Aceh setelah bencana itu dan tidak sempat melihat betapa dahsyatnya kehancuran sering gagal saat mencari jejak-jejak kehancuran. Setelah 10 tahun, seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa di Aceh.

Menjelang peringatan 10 tahun tsunami, di media sosial beredar foto-foto yang mencoba membandingkan keadaan sebelum dan sesudah tsunami. Foto-foto perbandingan itu akan membuat siapa pun takjub karena, sepuluh tahun lalu, perasaan putus asa membuat siapa pun tidak dapat diyakinkan bahwa kehancuran dapat dengan mudah diatasi.

Saya tidak yakin Aceh patut merayakan pencapaian atas keberhasilan yang dilalui setelah 10 tahun tsunami. Makna “berhasil” tentu mempunyai beragam perspektif. Salah satunya adalah perspektif para korban yang selama bertahun-tahun diasingkan dalam proses pemulihan tersebut, terutama cerita-cerita tidak menyenangkan para korban saat berhubungan dengan pemerintah dan donor selama berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Setelah 10 tahun berlalu, di luar bingkai foto-foto perbandingan itu, sulit untuk menemukan satu contoh saja apa yang telah berubah secara mendasar di Aceh dan perubahan ini punya pengaruh jangka panjang. Setiap berbicara tentang bencana besar dan apa yang telah berubah setelah hari itu, gempa tahun 1755 di Lisbon biasa dijadikan perbandingan. Gempa di Lisbon telah menghancurkan bukan saja Ibu Kota Portugal, yang waktu itu merupakan salah satu kota terkaya di Eropa akibat perdagangan budak dan rempah-rempah, tetapi juga telah menggoyangkan kepercayaan dan sendi-sendi sosial masyarakat.

Pertanyaan apakah Tuhan terlibat dalam bencana itu dan apakah bencana itu azab yang diturunkan Tuhan untuk menghukum mereka yang berdosa dan di mana posisi mereka yang tidak berdosa dalam azab tersebut bersaing dengan pertanyaan apakah azab ini dapat dihindari apabila ikatan batu rumah kita cukup kuat. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini diyakini menjadi salah satu babak yang cukup penting dalam mengubah wajah Eropa secara mendasar, baik secara budaya, politik, sains, dan filosofi menjadi satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari peristiwa lain yang mendahuluinya atau yang terjadi kemudian. Dari sudut pandang itu, bencana yang satu memang dipercaya menciptakan bencana yang lain dan kadang kala lebih mengerikan seperti Perang Dunia I dan II, tapi sekaligus menyempurnakan upaya-upaya untuk menanggulangi kerusakannya.

“Apa lagi? Kita kubur orang mati dan kita beri makan mereka yang hidup,” demikian kalimat terkenal yang diucap oleh Marquis of Pombal, patriark Kota Lisbon saat itu. Di Aceh, ekskavator-ekskavator memang telah menguburkan orang-orang yang mati dalam bencana tsunami. Tapi sulit untuk menjawab bahwa orang-orang yang selamat dari bencana itu telah diberikan kehidupan yang layak, makan yang layak.

Banyak orang menyebutkan bahwa tsunami 2004 telah menciptakan perdamaian di Aceh serta mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 30 tahun. Tidak ada keraguan tentang hal ini. Kalau tsunami 2004 yang telah merenggut 130.000 jiwa dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk terciptanya keadaan tersebut, perdamaian harusnya menjadi peristiwa lain yang tidak kalah penting untuk memulihkan apa yang telah hancur selama perang dan kesempatan bagi orang-orang yang teraniaya selama konflik untuk mendapatkan keadilan.

Hadiah Nobel yang diterima Presiden Martti Ahtisaari karena perannya dalam perdamaian di Aceh harusnya punya tujuan ganda, bukan hanya untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak di masa mendatang, sekaligus memberi kepastian terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. | Majalah DETIK, Edisi 160 - 22-28 Desember 2014

*) Azhari Aiyub, Direktur Komunitas Tikar Pandan, Pendiri Sekolah Do Karim dan alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia-Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Sabtu, 27 Desember 2014

Kapal Itu Selamatkan Banyak Orang Ketika Tsunami Aceh

Kapal Itu Selamatkan Banyak Orang Ketika Tsunami Aceh

"Saya melihat di depan rumah itu sudah lautan tsunami. Orang hanyut, rumah hanyut, kapal hanyut."

Kapal Itu Selamatkan Banyak Orang Ketika Tsunami AcehKapal nelayan terbawa gelombang tsunami dan dijadikan tempat mengungsi. (AFP via BBC Indonesia)


Sebuah kapal yang terseret gelombang, menyelamatkan lebih dari 50 orang ketika gulungan ombak tsunami menyapu kawasan pesisir Lampulo, Kecamatan Kuta Ulam, Banda Aceh, 10 tahun silam.

Ini terjadi ketika pada 26 Desember 2004 gempa besar membuat warga desa berjatuhan ke tanah dan disusul naiknya air laut ke darat 15 menit kemudian.

Sekitar 100 meter dari desa, kapal-kapal di sungai mulai naik ke daratan dan orang-orang berlarian dari arah pelabuhan sambil mengabarkan air laut naik.

"Saya berpikir jangan-jangan ini kiamat," tutur Mujiburrizal, seorang pria yang menggerakan warga menyelamatkan diri ke rumah tetangga berlantai dua milik ibu Abasiah.

Puluhan warga yang berkumpul di jalan depan rumah langsung naik ke tingkat dua rumah Abasiah.

"Dalam waktu beberapa detik di tingkat dua itu sudah seleher airnya," ucap Mujiburrizal.


Kapal yang tersapu gelombang tsunami 2004 banyak dikunjungi wisatawan. (AFP via BBC Indonesia)

Kapal berputar-putar

Ia dan puluhan warga lainnya, termasuk kedua orang tuanya sendiri, mengira ajal sudah dekat.

"Saya melihat di depan rumah itu sudah lautan tsunami. Orang hanyut, rumah hanyut, kapal hanyut."

Mujiburizzal kemudian naik ke atap rumah.

"Tiba-tiba saya melihat dari sebelah kiri datang satu kapal yang berputar-putar," jelasnya.

Kapal nelayan tua berhenti di lantai dua tersebut. Ia menyorong satu per satu warga ke atas kapal sedangkan seorang teman Mujiburizzal menarik mereka dari kapal.

Sejumlah warga yang sudah terlebih dulu berada di atap rumah juga ikut masuk ke kapal. Seluruhnya terdapat lebih dari 50 orang, termasuk bayi, anak-anak, orang tua, bahkan mayat seorang anak.

"Pada awalnya kami berpikir kapal ini sengaja mau tolong kami, berhenti sebentar. Rupanya kapal menabrak atap dan menyangkut. Ketika itu gelombang datang lagi berkali-kali dan kapal hanya bergetar," ujar Mujiburizzal.

Dalam kondisi lapar dan basah kuyup, warga mencari apa yang ada di atas kapal. Ada baju dan air galon di sana tapi ternyata airnya asin.

"Air bergulung-gulung warna hitam. Orang hanyut minta tolong dan sebagainya tapi kita tidak mampu menolong."

Saya menghadap ke laut, saya adzan; Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar," Mujiburrizal mengisahkan pengalamannya.

"Sehabis adzan, saya lihat gelombang itu pecah."

Di atas kapal, warga bertahan selama tujuh jam sampai air tsunami mulai surut dan mereka pun buru-buru meninggalkan desa mereka.

Kapal nelayan itu kini menjadi salah satu situs tsunami di Aceh. Ratusan orang datang setiap hari untuk menyaksikan kapal yang sering disebut sebagian orang sebagai "Kapal Nabi Nuh".

Keluarga ibu Abasiah sebagai pemilik rumah dan tanah telah berpindah ke lokasi lain setelah pemerintah daerah membeli rumah itu.

Mujiburizzal kini menjadi Duta Museum Aceh di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bersama keluarganya, ia tetap menempati rumahnya di samping situs tsunami. (Rohmatin Bonasir/bbc.co.uk/indonesia)
Jejak Keberulangan Tsunami di Aceh

Jejak Keberulangan Tsunami di Aceh

Oleh Ahmad Arif

Ingatan pendek adalah musuh utama kesiapsiagaan. Sepuluh tahun setelah tsunami Aceh, ingatan terhadap tragedi itu semakin pudar. Rumah-rumah baru dibangun di tapak bencana. Padahal, jejak di dalam lapisan tanah yang digali dari sejumlah lokasi di Aceh merekam informasi tentang tsunami yang berulang kali melanda kawasan ini.

Awalnya adalah gempa berkekuatan M 9,3 yang melanda, Minggu, 26 Desember 2004, semenit sebelum pukul 09.00. Setengah jam kemudian, tsunami berketinggian hingga 35 meter yang menyapu Banda Aceh dan kota-kota lain di pesisir barat Pulau Sumatera, menewaskan 160.000 orang.

Tsunami ini adalah yang paling mematikan dalam catatan sejarah. Data dari Intergovernmental Oceanographic Commision (1999) dan National Geophysical Data Center serta World Data Center for Solid Earth Geophysics (2007) menyebut, tragedi Aceh adalah rajapati tsunami yang menewaskan 228.432 jiwa, disusul tsunami Taiwan pada 22 Mei 1782 yang menelan 50.000 korban jiwa, diikuti tsunami saat Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 dengan korban 36.417 jiwa.

Selain melanda Indonesia, tsunami pada 2004 itu menjalar di 21 negara lain di sepanjang Samudra Hindia. Namun, sebagian besar korban adalah warga Aceh yang awam soal tsunami. Hingga sebelum 2004, orang Aceh tak memiliki memori tentang tsunami.

Berada 260 kilometer dari pusat gempa, Banda Aceh adalah kota tua di tepi Samudra Hindia. Kota itu dipadati 177.881 orang yang sebagian besar bermukim di pantai. Selama 30 tahun, Aceh berada dalam dekapan konflik. Suara bedil dan bom bukan bunyi asing bagi warga. Maka, ketika suara serupa ledakan terdengar setelah gempa pagi itu, orang-orang di Banda Aceh mengira genderang perang kembali ditabuh. Mereka sama sekali tak mengira laut bisa menyerbu hingga jauh ke daratan.

”Bunyi ledakan setelah gempa, kami kira karena ada perang. Kami tak tahu soal tsunami. Bahkan, saat saya naik motor sambil teriak ada air naik, tak ada orang yang percaya,” kisah Muchtar (55), mantan Kepala Dusun Monsinget, Desa Kajhue, Aceh Besar. Muchtar kehilangan satu anaknya dalam tsunami ini.

Selain melenyapkan anak bungsunya, tsunami menewaskan 13 anggota keluarga besar Muchtar. Sebelum tsunami, jumlah warga Monsinget mencapai 2.238 jiwa. Setelah petaka, jumlahnya menyusut hingga tinggal 370 jiwa.

Namun, hanya tiga bulan di pengungsian, dia akhirnya kembali berhuni di bekas rumah lamanya. Rumah itu hanya sejarak 800 meter dari tepi laut. Seperti kebanyakan warga Aceh, Muchtar memilih pulang ke kampung halaman. ”Hanya sedikit korban selamat yang tidak mau kembali. Hampir semuanya kembali ke sini,” kata Muchtar. ”Sekarang, jumlah penduduk di Monsinget sudah sama seperti sebelum tsunami.”

Penduduk Aceh memang pulih cepat. Misalnya, di Banda Aceh, sebelum tsunami 2004, jumlah penduduk 239.146 jiwa. Sebanyak 61.265 penduduknya tewas atau hilang saat tsunami atau tinggal 177.881 orang pada 2005. Survei tahun 2013, jumlah warga Aceh sudah 249.282 orang. Sebagian besar kembali bermukim di tepi pantai. Mereka meyakini, tsunami tak akan kembali datang untuk kedua kali. ”Bisul tak akan tumbuh di tempat sama dua kali. Lagi pula, kalau ada tsunami lagi, jika sudah takdir, ke mana pun akan mati,” katanya.

Jejak geologi

Ketika masyarakat mulai lupa dengan tragedi itu, para ilmuwan mulai menemukan bukti-bukti bahwa tsunami 2004 hanya perulangan dari kejadian lalu. Dengan melacak deposit tsunami di Meulaboh, Aceh Barat, dan Pulau Phra Thong, Thailand, dua tim peneliti menemukan, dalam kurun 1.000 tahun terakhir, kawasan Samudra Hindia pernah dilanda dua tsunami raksasa sebesar 26 Desember 2004.

Tujuh peneliti menggali deposit tsunami di Phra Thong. Adapun peneliti yang melakukan penggalian di Meulaboh adalah Katrin Monecke, Willi Finger, David Klarer, Widjo Kongko, Brian G McAdoo, Andrew L Moore, dan Sam U Sudrajat. Tim yang menggali di Phra Thong menemukan jejak tsunami raksasa terjadi sekitar tahun 1300-1450, sementara tim di Meulaboh menemukan jejak tsunami pada 1290-1400. Mereka juga menemukan tsunami terjadi dalam kurun 780-900. Hasil riset kedua tim yang bekerja terpisah itu dipublikasikan di majalah Nature Vol 455 edisi 30 Oktober 2008.

Belakangan, penggalian lapisan lantai goa di kawasan Lhong, Aceh Besar, oleh peneliti dari Singapore Earth Observatory, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan peneliti Universitas Syiah Kuala menemukan jejak tsunami yang diduga menghancurkan peradaban Aceh pada masa lalu. ”Dari penanggalan lapisan tanah di reruntuhan benteng di Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, kami menemukan dua pelapisan tsunami. Jejak pertama berasal dari tsunami yang terjadi akhir tahun 1300 dan satu lagi pertengahan 1450,” kata Nazli Ismail, pengajar Jurusan Fisika Universitas Syiah Kuala, yang turut dalam penelitian itu.

Tim itu juga menemukan jejak tsunami hebat berulang kali melanda pantai Aceh. Di Lhok Cut dan Ujung Batee Kapal, Kecamatan Mesjid Raya, Nazli dan tim menemukan sisa bangunan kuno terkubur pasir hingga kedalaman 380 sentimeter, keramik-keramik, dan sumur kuno. ”Di setiap temuan artefak, ada lapisan endapan tsunami,” kata Nazli.

Jejak peradaban yang terkubur deposit tsunami itu diperkirakan sisa peninggalan Kerajaan Lamuri yang pernah ada di Aceh sekitar abad ke-9. Lamuri sebagai salah satu pusat peradaban pada masa lalu kerap disebut beberapa sumber, misalnya naskah Kertagama Prapanca. Kerajaan itu disebut Ramni oleh literatur Arab, Lanpoli oleh Ma Huan dari Tiongkok, dan Lambry oleh Tome Pires.

Lamuri kerap disejajarkan dengan bandar-bandar perdagangan terkenal di Asia Tenggara, seperti Barus, Singkil, serta belakangan dengan Tumasik (Singapura) dan Malaka. Berbeda dengan nama-nama kota kuno lain yang masih ada meski kondisinya telah meredup, seperti kota Barus dan Singkil, nama Lamuri sebagai kota lenyap dalam khazanah modern. Kota itu nyaris tak meninggalkan jejak, selain sejumlah benteng dan nisan kuno tanpa nama yang tersebar di sekitar Lamreh.

Bisa berulang

Sementara dari goa di Pantai Lhong, Aceh Besar, ditemukan setidaknya 10 jejak tsunami. ”Beberapa lapisan tsunami hebat yang kami identifikasi dari lapisan tanah di goa itu berasal dari tsunami 2004, tsunami sekitar 2.800 tahun lalu, 3.300 tahun lalu, 5.400 tahun lalu, dan 7.500 tahun lalu,” kata Nazli.

Gegar Prasetya, peneliti tsunami dari Amalgamated Solution and Research, mengatakan, jejak keberulangan tsunami yang terekam di goa itu harus menjadi peringatan serius. ”Data paleotsunami di goa yang ditemukan di Aceh terlihat, ada siklus tsunami besar yang datang berdekatan. Bahkan, ada yang jaraknya hanya 10 tahunan dari segmen beda,” katanya.

Dengan data itu, Gegar menyimpulkan, tsunami bisa saja berulang di Aceh dalam era kita, dengan skala yang bahkan lebih besar lagi. ”Baru-baru ini saya juga ditunjukkan data dari Mas Danny Hilman (ahli gempa LIPI), adanya akumulasi slip di belakang Pulau Simeulue sampai Meulaboh yang belum lepas energinya. Couplet earthquake atau gempa besar yang terjadi berdekatan bisa terjadi di zona subduksi sekitar Aceh,” ujarnya.

Kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa berikutnya bakal terjadi hingga kini masih misteri. Belum ada teknologi yang dapat meramalkan. Maka, kesiapsiagaan menghadapi bencana paling mematikan dalam sejarah manusia modern itu tak boleh mengenal jeda. Jika kenangan hanya seumur jagung, jejak tsunami di lapisan tanah bisa tersimpan hingga ribuan tahun|  | KOMPAS.COM, 23 desember 2014
Belajar dari Memori Aceh

Belajar dari Memori Aceh


SEMULA adalah guncangan gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala Richter, permukaan laut yang surut, lalu datanglah gelombang laut mahadahsyat.
Itulah ringkasan ingatan atas apa yang terjadi di Aceh tepat 10 tahun silam. Mungkin tiada ungkapan yang bisa melukiskan peristiwa alam yang menjadi petaka tak terperi dalam sejarah bencana alam modern.

Dengan menundukkan kepala, kita kenang kembali korban yang jatuh—lebih dari 200.000 jiwa di 21 negara sepanjang Samudra Hindia, sebagian besar di antara mereka (160.000 jiwa) adalah warga Aceh.

Kita kenang pula jasa sukarelawan dari berbagai penjuru dunia yang membantu meringankan derita saat itu. Bencana Aceh 26 Desember 2004 membuktikan secara kuat solidaritas kemanusiaan yang jarang ada bandingannya.

Ada dua hal yang dapat kita refleksikan saat mengenang bencana Aceh. Pertama tentang kesadaran ilmu pengetahuan akan gempa dan tsunami, yang kedua tentang bagaimana menyikapi ancaman bencana.

Tentang kesadaran akan ilmu alam yang terkait dengan bencana, petaka di Aceh telah membuka mata kita tentang hidup di alam bencana, yang ditandai dengan bertemunya tiga lempeng tektonik besar di dunia, dan Cincin Api.

Kita sudah sering mengalami tsunami, tetapi baru bencana Aceh yang benar-benar membangunkan kesadaran akan potensi bencana, dan masyarakat menjadi familier dengan tsunami dan gempa tektonik, juga wedhus gembel (aliran piroklastik) saat gunung berapi erupsi.

Kesadaran ini selayaknyalah menjadi momentum untuk mengenal daulat alam dengan fenomenanya yang dahsyat—oleh Ellen J Prager dijadikan judul buku Furious Earth. Hal itu juga membangkitkan minat anak muda Indonesia mempelajari ilmu kealaman, seperti geologi, seismologi, vulkanologi, dan juga meteorologi (dalam kaitannya untuk merespons pemanasan global).

Untuk refleksi kedua, setelah menyadari hidup di kawasan Cincin Api, mau tak mau kesadaran yang muncul tersebut harus ditransformasikan menjadi aksi investasi untuk menghadapi bencana.

Di masa lalu, wacana baru sebatas pembangunan rumah tahan gempa. Setelah gempa Aceh, dipikirkan bagaimana mengatur tata ruang, agar saat bencana datang, warga berada di zona aman. Memang agak ironis, pembangunan kembali Aceh dinilai gagal memanfaatkan momentum. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi tak bisa merealisasikan cetak biru mengosongkan kawasan 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai.

National Geographic juga menyebutkan, di Indonesia warga secara kultural ingin hidup berdamai dengan gunnung api. Muncul pertanyaan, sinkronkah ini dengan cita-cita kita untuk menjadi masyarakat modern berbasis pengetahuan?

Mari terus kita hidupkan memori tsunami Aceh untuk menguatkan kesadaran kita pada alam dan siaga menghadapi fenomenanya.| TAJUK RENCANA  Harian KOMPAS, 26 Desember 2014
 Linda Christanty Tentang 10 Tahun Tsunami Aceh

Linda Christanty Tentang 10 Tahun Tsunami Aceh


Teman-teman, tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, tepat 10 tahun lalu. Sebelum peristiwa itu dan sesudahnya, Aceh masih berstatus darurat militer akibat konflik bersenjata antara gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia. Orang Aceh meminta bagi hasil yang adil dari penambangan mineralnya, pemerintah Suharto membalas dengan mengirimkan tentara. Di sekitar lokasi PT Arun (Exxon Mobil) para pejuang Aceh Merdeka dulu menyebarkan selebaran dan pamflet, “Javanese Go Home”. Tapi mengapa dalam Bahasa Inggris? Saya kurang tahu. Bagi mereka, orang Jawa waktu itu adalah kolonial baru, dengan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahannya. Presiden Suharto orang Jawa dan kebanyakan tentara yang kejam juga dalam wujud orang Jawa. Ini sama halnya dengan orang-orang Dayak di masa kolonial menganggap para pendeta kulit putih adalah penjajah Belanda. Efek samping biasa terjadi dalam perang. Masalah utamanya adalah ketidakadilan.

Andaikata Suharto masih hidup, sudah selayaknya orang-orang Jawa membuat perhitungan dengan dia yang telah membuat nasib mereka sengsara dan jadi korban efek samping itu. Meskipun kita tahu kemudian bahwa pemerintah daerah Aceh juga ternyata korupsi dan merampok rakyatnya sendiri. Hal serupa juga terjadi di Papua. Korupsi para pejabat daerahnya bukan lagi rahasia dan salah satu ancaman paling nyata bagi orang-orang Papua.

Baiklah, kita kembali lagi ke soal tsunami ini.

Setelah babak-belur didera konflik hampir 30 tahun, rakyat Aceh menjadi korban bencana yang disebut bencana alam terbesar di dunia dalam 40 tahun terakhir. Artinya, belum lepas dari trauma perang, mereka mengalami trauma bencana. Memulihkan orang-orang itu dari trauma tidak menjadi perhatian penting dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami, selain memulihkan bangunan dan apa yang tampak (meskipun pencapaiannya ternyata tak sebanding dengan jumlah dana yang begitu besar).

Perjanjian damai di Helsinki baru ditandatangani kedua pihak yang berseteru delapan bulan pascatsunami itu. BRR dibentuk. Lembaga bantuan asing, nasional dan lokal datang ke Aceh. Ratusan jumlahnya. Uang yang dikucurkan untuk merekonstruksi Aceh mencapai Rp 70 triliyun. Lembaga tempat saya bekerja dulu ikut kecipratan rezeki dari musibah yang menimpa orang Aceh dengan memperoleh uang program untuk memantau Aceh pascatsunami dan pascakonflik melalui berita. Saya kira, banyak sekali orang atau lembaga di luar Aceh yang bernasib baik berkat musibah yang menimpa orang Aceh.

Baru saja saya membaca edisi khusus Majalah Tempo (MT). Keterangan dalam daftar isi MT bahwa “dunia memuji rekonstruksi yang berhasil mendayagunakan lebih dari Rp 70 triliyun sumbangan dari berbagai belahan bumi itu” juga kesimpulan yang menutupi sisi gelap. Tidak pernah diketahui secara pasti besar dana yang memang benar-benar didayagunakan untuk rekonstruksi tersebut. Penyelewengan tak terhitung. Pelakunya siapa saja, orang Aceh maupun non-Aceh. Ada juga orang asing yang melarikan uang bantuan untuk Aceh dan sampai sekarang masih menghuni daftar buronan pemerintah Jerman, entahlah apa ada juga dalam daftar pemerintah Indonesia. Ini hanya salah satu contoh.

Sosok Kuntoro sebagai kepala BRR juga bukan pahlawan, meskipun MT mengesankannya demikian dan salah satu artikel (mirip curhat) malah mendramatisasi "cobaan" yang dialaminya seolah-olah dia pekerja sukarela yang dilanda “tsunami” dan selamat. Jangan lupa, Kuntoro ditugaskan pemerintah dan tanggung jawab itu sudah seharusnya dilaksanakannya dengan baik. Sebagai orang yang ditunjuk pemerintah dan digaji (berapa pun jumlahnya), memang sudah menjadi kewajibannya untuk bekerja dengan benar di Aceh dan menyukseskan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Selain itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia membantu dan melindungi rakyatnya, termasuk orang Aceh.

Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa seseorang dapat disebut pahlawan apabila dia melakukan tindakan untuk orang banyak melampaui kesanggupan dan tanggung jawab yang seharusnya diembannya.

Pejabat pemerintah yang menjalankan tugas dengan baik, pegawai kantor di lembaga hak asasi manusia yang meneliti dan melaporkan kasus, para wartawan yang menjalankan tugasnya, koki yang memasak enak untuk para pengunjung restoran, penyanyi yang menghibur di klub, artis yang bermain gemilang dalam film, atlet yang menang pertandingan dasalomba…. bukan pahlawan. Mereka adalah orang yang telah bekerja dan berdedikasi untuk profesi atau pekerjaannya. Tetapi seorang ibu desa yang membangun pembangkit listrik tenaga air dengan caranya, nenek yang menyelamatkan hutan dan mengajak warga melestarikannya, bahkan para penumpang pesawat yang menggagalkan pembajak mengarahkan pesawat bunuh diri ke arah Gedung Putih atau Pentagon dulu, kepala kampung yang memimpin rakyat melawan penjajahan kolonial…. adalah pahlawan, karena mereka melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab dan kesanggupan mereka.

Pahlawan bagi orang Aceh adalah anak-anak sekolah di Jakarta, sopir taksi, warga biasa, para penduduk dunia yang tak terhitung jumlahnya dari mulai yang beragama sampai yang tidak, yang tanpa ada yang mendikte atau mewajibkan mereka, telah memberi apa yang mereka miliki untuk Aceh, bahkan nama-nama mereka tak diketahui orang Aceh. Semua itu menunjukkan apa yang dikatakan Reza Idria dalam artikelnya di MT, tapi dari sisi sebaliknya, “tentang bagaimana pentingnya orang lain, yang bukan kita”. Menurut saya, artikel Reza ini adalah tulisan terbaik dalam edisi khusus MT dan telah mengangkat marwah majalah tersebut. Kritis, cemerlang, terang dan mengerti duduk perkara. | sumber facebook  Linda Christanty, 26 Desember 2014

Kamis, 25 Desember 2014

OPINI: Bencana dan Politik

OPINI: Bencana dan Politik



Azyumardi Azra
[Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta]


BENCANA demi bencana masih melanda Indonesia. Julukan Indonesia sebagai ring of fire (cincin api) mungkin tidak memadai lagi. Karena itu, Phil Sylvester, editor Travel Insight, menyatakan, "Indonesia telah selalu menjadi hotbed of earthquake activity, but in the past few years there have been more deadly quakes than usual."

Mempertimbangkan gejala itu, jangan-jangan julukan Tanah Air kita harus diganti jadi ring of disasters, lingkaran bencana. Ini terlihat, misalnya, pada bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang menewaskan sekitar 85 orang dan mungkin ratusan orang lainnya hilang tertimbun longsoran.

Meski kita selalu berdoa agar bencana tidak terus melanda Indonesia, hampir bisa dipastikan musibah tetap bakal datang. Banyak lokasi alam Indonesia secara alamiah sangat rawan bencana. Namun, kian merosotnya kualitas lingkungan hidup karena perusakan hutan atau penggarapan lahan rawan longsor mengakibatkan bencana longsor dan banjir bandang semakin sering.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai menjelang bencana di Banjarnegara, pada 2014 tercatat 248 korban bencana longsor. Pada 2011, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, terjadi 452 longsor dan banjir bandang, menewaskan 371 jiwa; dan 2010 dengan korban 635 orang. Menurut Prevention Web, pada 1980-2010 rata-rata 6.209 setiap tahun orang tewas karena berbagai bentuk bencana.

Jumlah kerugian harta benda akibat bencana tidak sedikit. Menurut Bappenas, dalam 10 tahun terakhir, jumlah kerugian akibat bencana Rp 162 triliun, sedangkan menurut data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Rp 400 triliun. Berhadapan dengan bencana silih berganti dengan jumlah kerugian begitu besar, pemerintah, khususnya melalui BNPB dan Kementerian Sosial, sering terlihat gagap. Sering pula bantuan tak bisa cepat disalurkan karena hambatan birokrasi dan administrasi.

Namun, Indonesia beruntung karena solidaritas masyarakat masih kuat untuk meringankan beban warga. Banyak warga spontan turun tangan membantu. Selain itu, organisasi dan kelompok filantropi yang bergerak dalam penyantunan korban bencana (relief) juga terlihat cepat bergerak memberikan berbagai bentuk kontribusi berupa dana infak, sedekah, dan sumbangan lain dari masyarakat. Kelas menengah yang terus bertumbuh menjadi tulang punggung (backbone) filantropi Indonesia memungkinkan mereka bergerak lebih aktif dan lebih cepat.

Bagaimana hubungan bencana dengan politik? Dalam pengalaman Indonesia, bencana bisa menjadi momentum untuk perdamaian dan rekonsiliasi politik di Aceh setelah konflik berdarah-darah selama beberapa tahun (1976-2005). Kasus ini terlihat dalam bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang tahun ini genap 10 tahun. Bencana dahsyat yang menewaskan sekitar 160.000 jiwa itu memaksa Pemerintah Indonesia berunding dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan Persetujuan Helsinki (15 Agustus 2005). Dengan begitu, bencana tsunami Aceh menjadi blessing in disguise bagi NKRI.

Bencana demi bencana di Tanah Air juga mengundang parpol atau elite politik "turun tangan". Gejala ini tidak unik di Indonesia, tetapi juga bahkan di AS. David G Twigg dalam The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane Andrew (2012) menyimpulkan, bencana alam sejak dari gempa sampai tornado dapat meninggalkan bekas tidak terhapuskan dalam karier politik seseorang. Kecepatan figur politik dalam turut menangani korban bencana dapat memberikan manfaat baginya sebab dengan begitu ia telah melakukan "kampanye tanpa kampanye".

Keterlibatan elite politik dan parpol di Tanah Air mewujud dalam pemberian bantuan berbarengan dengan pemasangan bendera parpol masing-masing di wilayah terlanda dan terdampak bencana. Keadaan ini kadang-kadang mengesankan adanya "perang bendera" di antara parpol berbeda. Namun, keadaan agak berbeda dengan bencana longsor Banjarnegara. Tidak terlihat banyak bendera parpol meski sebenarnya ada di antara mereka yang juga turun ke sana.

Apakah gejala ini mengindikasikan meningkatnya "sensitivitas" parpol untuk tidak "memanfaatkan" bencana guna meningkatkan popularitas mereka, seperti sering dikritik banyak kalangan. Atau, boleh jadi juga karena memang tidak banyak parpol yang datang ke daerah bencana. Boleh jadi hal terakhir ini yang lebih benar. Hal ini terkait disorientasi yang dialami banyak parpol setelah Pemilu 2014. Parpol-parpol terbelah dalam dua kubu yang terlibat dalam kontestasi dan kegaduhan politik yang tak kunjung usai. Boleh jadi, jangankan memikirkan dan turut turun tangan dalam menyantuni korban bencana, DPR saja, tempat mereka bertarung, terlihat mengalami kemacetan.

Lalu, ada lagi konflik internal seperti yang terus membara dalam PPP dan Partai Golkar. Pembelahan dan friksi yang entah sampai kapan menunjukkan parpol lebih sibuk dengan dirinya daripada menyantuni korban bencana yang merupakan konstituen mereka. Keadaan ini patut disayangkan. Alangkah eloknya jika sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki elite politik dan parpol digunakan untuk kemaslahatan warga, khususnya korban bencana. Sudah saatnya elite politik dan parpol meninggalkan kegaduhan internal dan eksternal sehingga dapat lebih bermanfaat bagi negara-bangsa.[OPINI KOMPAS, 23 Des 2014]

Rabu, 19 November 2014

26 Desember 2014, Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh

26 Desember 2014, Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh


JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun ini, tragedi bencana tsunami yang menimpa Aceh memasuki peringatan tahun ke-10. Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh akan diselenggarakan tanggal 26 Desember 2014.

"Ini seperti refleksi Aceh pascatsunami dan sekaligus memperlihatkan kemajuan Aceh setelah 10 tahun yang telah jauh lebih baik. Juga Aceh berterima kasih kepada dunia," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh Reza Pahlevi saat temu media di Jakarta, Rabu (15/10/2014).

Reza menjelaskan, ada malam apresiasi seni bertema Aceh untuk dunia. Isinya berupa pertunjukan seni tradisional. Selain itu, ada pula acara lomba lari 10 kilometer.

Acara lainnya adalah pameran foto dan upacara peringatan. Juga, ada ekspo berisikan informasi edukasi mengenai kebencanaan, pameran UKM, serta pameran dari organisasi yang pernah membantu Aceh pascatsunami.

"Kami mengundang 53 negara. Diperkirakan akan dihadiri 5.000 orang," jelas Reza.[kompas.com/16 oktober 2014]

Sabtu, 27 September 2014

Mengapa Gempa Diukur dengan Skala Richter

Mengapa Gempa Diukur dengan Skala Richter



TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA [26 Juli 2010] - Setiap ada pemberitaan tentang gempa pasti menggunakan istilah Skala Richter (SR) untuk mengetahui besarnya ukuran gempa dan efek yang ditimbulkannya. Sehingga terpikir bahwa makin kecil angka SR maka kerusakan juga kecil. Demikian juga besarnya angka yang ditunjukkan SR semakin banyak kerusakan yang ditimbulkan.

Padahal tidak selalu begitu karena kerusakan akibat gempa juga dipengaruhi oleh kedalaman episentrum (titik pusat gempa), kedekatan dengan daratan atau permukiman penduduk dan struktur lempengan bumi di lokasi tersebut.

Skala Richter pertama kali diusulkan penggunaannya oleh seorang fisikawan ahli gempa Amerika bernama Charles Francis Richter (26 April 1900 - 30 September 1985). Pertama kali digunakan istilah Richter tahun 1935 ketika ia bekerjasama dengan Beno Gutenberg untuk penelitian di Institut Teknologi California, AS. Dan sejak itu penggunaan SR menjadi makin mendunia.

Sebenarya apa Skala Richter itu dan mengapa digunakan sebagai satuan besarnya gempa? Tribunnews.com menelusuri asal usul dan relativitasnya satuan ini dengan fakta yang ada di lokasi gempa.

Skala Richter (SR) didefinisikan sebagai logaritma (basis 10) dari amplitudo maksimum. Amplitudo itu diukur dalam satuan mikrometer dari rekaman gempa oleh instrumen (alat) pengukur gempa (seismometer) temuan ilmuwan (Wood Anderson) pada jarak 100 km dari pusat gempa.

Misalnya begini, ada rekaman gempa bumi (seismogram) dari seismometer yang terpasang sejauh 100 km dari pusat gempa, menunjukkan amplitudo maksimumnya sebesar 1 mm. Maka kekuatan gempa tersebut adalah log (10 pangkat 3 mikrometer) sama dengan 3,0 skala Richter. Sebenarnya ada gambar tabel untuk menentukan besarnya SR tanpa harus njelimet menghitung seismogram dan amplitudonya sehingga mudah menyimpulkan angka SR dengan cepat.

Ada komponen untuk menentukan besarnya SR untuk mengukur gempa yaitu amplitudo maksimum yang terekam oleh seismometer (dalam satuan milimeter) dan beda waktu tempuh antara seismometer dengan pusat gempa (dalam kilometer).

Contohnya, seismogram mempunyai amplitudo maksimum sebesar 23 milimeter dan selisih antara gelombang P dan gelombang S adalah 24 detik maka dengan menarik garis dari titik 24 detik di sebelah kiri ke titik 23 mm di sebelah kanan maka garis tersebut akan memotong skala angka 5,0 yang berarti skala gempa tersebut sebesar 5,0 SR.

Sebenarnya, SR hanya tepat digunakan untuk mengukur gempa gempa dekat dengan magnitudo di bawah 6,0. Dan bila magnitudo lebih besar dari 6,0 angka yang ditunjukkan oleh SR tidak representatif lagi. Perlu diingat bahwa perhitungan magnitudo gempa tidak hanya memakai teknik atau satuan SR seperti ini. Sehingga dimungkinkan beberapa instansi timbul perbedaan dalam menyimpulkan besarnya magnitudonya.

Secara garis besar, SR terbagi dalam beberapa kategori untuk menandai seberapa ruang lingkup kerusakan akibat gempa yang terjadi. Kategori itu sebagai berikut:

-- Skala Richter yang menunjukkan angka kurang dari 2,0 maka hanya terjadi gempa kecil dan hampir tidak dirasakan oleh manusia.
-- Skala Richter 2,0 - 2,9 juga tidak terasa tapi tetap terekam oleh alat seismogram.
-- Skala Richter 3,0 - 3,9 sudah dirasakan oleh manusia tapi tidak menimbulkan kerusakan.
-- Skala Richter 4,0 - 4,9 sudah dirasakan dan diketahui dengan bergetarnya perabot dalam ruangan, suara gaduh bergetar. Dalam hal ini kerusakan tidak signifikan. Tapi bagi penduduk di gedung bertingkat tinggi akan merasakan lebih besar goncangannya.
-- Skala Richter 5,0 - 5,9 bisa mengakibtakan kerusakan besar pada bangunan namun dalam area yang tidak luas. Tembok beton dan dinding biasanya retak bahkan rusak karena gempa sebesar ini.
-- Skala Richter 6,0 - 6,9 gempa ini sudah merusak bangunan kecil dan besar hingga radius 160 kilometer dari episentrum atau pusat gempa.
-- Skala Richter 7,0 - 7,9 tergolong gempa besar dan dahsyat karena bisa mengakibatkan kerusakan yang besar dan area luas.
-- Skala Richter 8,0 - 8,9 merupakan gempa dahsyat yang bisa meluluhlantakkan semua bangunan tinggi rendah yang ada hingga berjarak ratusan mil dari apisentrum gempa.
-- Skala Richter 9,0 - 9,9 dengan gempa ini nyaris tak ada bangunan yang selamat dalam radius hingga ribuan mil dari pusat gempa. Dan angka ini merupakan jejak gempa terbesar yang pernah terjadi di bumi karena belum pernah tercatat dalam sejarah ada gempa 10,0 SR sepanjang sejarah ditemukan alat pengukur gempa ini. (berbagai sumber)